Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia
Prof Jamhari Makruf, Ph.D: Saya sering membayangkan, suatu hari nanti, ada santri yang menerima Nobel di bidang sains. Mengapa tidak? Habibie dulu sudah membuktikan bahwa ilmu dan iman bisa berjalan bersama. Kini, giliran pendidikan Islam membuktikannya s-dok disway-
Tapi justru di sanalah kekayaan pendidikan Islam Indonesia tumbuh: dari masyarakat, untuk masyarakat.
BACA JUGA:5 Aplikasi Nabung Emas Terpercaya 2025: Diawasi OJK, Bisa Mulai dari Rp10.000!
Ketika pemerintah mulai membuka sekolah-sekolah Islam negeri, kualitasnya meningkat pesat. Walau hanya sekitar sepuluh persen dari total lembaga pendidikan Islam, keberadaan sekolah negeri ini memberi standar baru, sekaligus kebanggaan baru bagi umat Islam.
Ia juga mempercepat proses institusionalisasi pendidikan Islam dalam sistem nasional.
Transformasi besar berikutnya terjadi di perguruan tinggi. Saya masih ingat awal tahun 2000-an, Prof. Azyumardi Azra—Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat itu—mengajukan ide yang sempat dianggap “terlalu berani”: mengubah IAIN menjadi UIN, universitas penuh yang membuka fakultas-fakultas umum, termasuk kedokteran.
Bayangkan, fakultas kedokteran di kampus Islam! Tapi Prof. Azra tidak gentar. Ia berkata, “Kalau yang paling mahal dan sulit seperti kedokteran saja bisa, maka fakultas-fakultas lain akan lebih mudah.”
Langkah itu menjadi tonggak sejarah. Kini, sudah ada lebih dari 40 UIN di seluruh Indonesia, beberapa di antaranya memiliki fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan. Dari perubahan inilah lahir wajah baru pendidikan Islam: lebih terbuka, rasional, dan modern.
BACA JUGA:Pemerintah Siapkan Skema Pendanaan Utang Whoosh, Salah Satunya Lewat APBN
BACA JUGA:OTT di Riau, 10 Orang yang Terjaring akan Diboyong ke Jakarta
Sebagai seorang antropolog yang meneliti dunia pendidikan Islam sejak lama, saya melihat transformasi ini bukan hanya administratif atau struktural. Ia juga transformasi budaya dan mentalitas.
Dalam tradisi lama pesantren dan madrasah, pengetahuan keagamaan sering ditempatkan di puncak piramida ilmu. Sains dan teknologi dianggap alat bantu duniawi.
Tapi generasi baru—yang lahir dari madrasah modern, pesantren berbasis riset, dan kampus seperti UIN atau UIII—mulai memaknai ilmu secara lebih holistik.
Mereka tidak melihat fisika atau biologi sebagai “ilmu Barat,” melainkan sebagai bagian dari amanah keilmuan Islam yang lebih luas. Dalam istilah Clifford Geertz, ada “pergeseran simbolik” dalam orientasi umat Islam Indonesia—dari yang normatif menuju rasionalitas iman yang terbuka.
Perubahan cara pandang ini penting, sebab ia melahirkan kelas menengah Muslim baru yang tidak hanya berorientasi ritual, tetapi juga produktif dan inovatif.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: