Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia

Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia

Prof Jamhari Makruf, Ph.D: Saya sering membayangkan, suatu hari nanti, ada santri yang menerima Nobel di bidang sains. Mengapa tidak? Habibie dulu sudah membuktikan bahwa ilmu dan iman bisa berjalan bersama. Kini, giliran pendidikan Islam membuktikannya s-dok disway-

Dari sini muncul generasi cendekiawan Muslim yang tidak canggung bicara teknologi, diplomasi, atau lingkungan. Mereka adalah wajah baru Islam Indonesia: santri yang kosmopolitan, ilmuwan yang spiritual.

BACA JUGA:Transferan Saldo DANA Kaget Gratis Hari Ini Rp341.000 Bisa Masuk ke E-Wallet Kamu, Yuk Cek Cara Klaimnya

BACA JUGA:Benjamin Sesko Disindir Gary Neville, Lineker Pasang Badan: Dia Masih Punya Potensi!

AICIS+ 2025 menjadi semacam “etalase” dari proses panjang itu. Para pemakalah muda datang dari berbagai bidang: ekoteologi, bioteknologi, kecerdasan buatan, hingga etika digital. Semua mencoba menjawab satu pertanyaan besar: Bagaimana Islam berkontribusi bagi masa depan manusia?

Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi sebenarnya sangat antropologis. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya relevansi ajaran agama, tapi kapasitas peradaban Islam untuk beradaptasi dengan modernitas tanpa kehilangan jati diri.

Dulu, ketika saya meneliti perubahan pendidikan Islam di Indonesia bersama PPIM UIN Jakarta, saya menemukan bahwa transformasi pendidikan tidak hanya terjadi di ruang kelas, tapi juga di cara berpikir umat. pendidikan Islam bukan lagi sekadar reproduksi ajaran, tapi juga produksi makna baru.

Kita bisa melihatnya dari munculnya inovasi akademik di berbagai UIN dan pesantren modern: riset lingkungan, sains halal, ekonomi hijau, hingga literasi digital berbasis etika Islam. Semua ini adalah bagian dari narasi baru: Islam yang ilmiah, ilmiah yang Islami.

BACA JUGA:Hasil Piala Dunia U-17 2025: Italia Bungkam Qatar, Jepang dan Tunisia Menang Meyakinkan

BACA JUGA:Nih 3 Cara Klaim Saldo DANA Gratis Rp102.000 ke Dompet Elektronik Pagi Ini, Modalnya Cuma HP

Saya sering membayangkan, suatu hari nanti, ada santri yang menerima Nobel di bidang sains. Mengapa tidak? Habibie dulu sudah membuktikan bahwa ilmu dan iman bisa berjalan bersama. Kini, giliran pendidikan Islam membuktikannya secara sistematis.

Tapi lebih dari sekadar Nobel, yang kita perlukan adalah peradaban pengetahuan yang berakar pada nilai, tapi menjulang ke masa depan.

Di sinilah pentingnya visi lembaga seperti UIII — universitas Islam internasional yang tidak sekadar menjadi tempat belajar, tapi juga pusat dialog antara Islam, ilmu, dan kemanusiaan global.

AICIS+ 2025 hanyalah satu langkah kecil menuju cita-cita besar itu. Tapi dalam sejarah, setiap langkah kecil yang diambil dengan keyakinan sering kali melahirkan perubahan besar.

Kalau dulu madrasah hanya mengajarkan fikih dan tafsir, kini ia mulai mengajarkan robotika dan etika digital. Kalau dulu santri hanya membawa kitab kuning, sekarang mereka membawa laptop dan kode pemrograman.

Tapi semangatnya tetap sama: mencari ilmu sebagai bentuk ibadah. Dan mungkin, di antara mereka yang berjalan di koridor kampus hari ini, ada yang kelak akan menulis sejarah baru pendidikan Islam — bukan dengan tinta, tapi dengan inovasi.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads