Presma UIN Alauddin: Megawati Baper, Belum Berdamai dengan Masa Lalu soal Soeharto
Presma BEM UIN Alauddin Makassar, Zulhamdi Suhafid, menilai Megawati Soekarnoputri belum berdamai dengan masa lalu soal usulan Soeharto jadi pahlawan nasional-Istimewa-
MAKASSAR, DISWAY.ID — Polemik terkait penolakan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, kembali memantik perbincangan hangat di ruang publik.
Di tengah upaya rekonsiliasi nasional yang tengah digagas Presiden Prabowo Subianto, sikap Megawati dinilai mencerminkan bahwa bangsa Indonesia masih berhadapan dengan luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh.
BACA JUGA:Orang Tua Korban Ceritakan Kengerian Ledakan SMAN 72 Jakarta: Telinga Anak Saya Berdengung
BACA JUGA:DOR! Hansip Tewas Ditembak saat Kejar Pelaku Curanmor, Polisi Buru Pelaku
Presiden Mahasiswa BEM UIN Alauddin Makassar, Muh. Zulhamdi Suhafid, menilai bahwa keputusan Megawati, “Bisa dimaknai sebagai ekspresi jujur dari memori kolektif bangsa yang terluka,” namun di sisi lain juga menunjukkan bahwa proses pendewasaan sejarah nasional belum selesai."
“Sikap Ibu Megawati adalah bentuk keberanian dalam mempertahankan prinsip, tetapi juga menjadi cermin bahwa bangsa kita belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya. Ini menunjukkan bahwa luka sejarah, terutama terkait dinamika politik Orde Baru, masih meninggalkan residu psikologis di ruang sosial dan politik Indonesia,” ujar Zulhamdi, Sabtu, 8 November 2025.
Lebih lanjut, Zulhamdi menegaskan bahwa jika penolakan tersebut didasari pengalaman pribadi dan sejarah keluarga besar Soekarno, maka keputusan itu berpotensi menimbulkan kesan “politik dendam” di tengah masyarakat.
“Tentu kita tidak bisa menafikan trauma masa lalu, namun bila pengalaman personal dijadikan dasar untuk menolak pengakuan terhadap jasa tokoh lain, itu berisiko menumbuhkan politik dendam yang justru menghambat rekonsiliasi nasional. Padahal, Presiden Prabowo tengah berupaya merawat persatuan dan memulihkan memori sejarah bangsa melalui pendekatan yang lebih inklusif,” ungkapnya.
Zulhamdi juga menekankan pentingnya keteladanan dari para pemimpin bangsa dalam menyikapi tokoh-tokoh masa lalu termasuk yang pernah berseberangan secara politik.
Ia mencontohkan langkah-langkah yang pernah dilakukan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Taufiq Kiemas, hingga Presiden Prabowo yang berani mengakui jasa orang-orang yang berbeda pandangan, tanpa kehilangan sikap kritis terhadap sejarah.
BACA JUGA:Fadli Zon Bela Soeharto: Tak Pernah Terbukti Lakukan Pelanggaran Berat!
“Seorang pemimpin sejati tidak perlu menghapus catatan kelam masa lalu, tetapi harus mampu menempatkannya dalam konteks yang objektif. Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan bahkan Presiden Prabowo telah menunjukkan bahwa penghargaan terhadap jasa seseorang tidak berarti menghapus kritik atas kesalahannya. Inilah bentuk kedewasaan politik yang perlu diteladani,” ujar Zulhamdi.
Menanggapi pertanyaan apakah adil bila jasa besar Soeharto di bidang pembangunan, pangan, infrastruktur, ekonomi, dan stabilitas nasional diabaikan hanya karena kontroversi politiknya, Zulhamdi berpendapat bahwa sejarah harus dilihat secara proporsional.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
