Internet Rakyat Rp100 Ribu: Janji Kecepatan Langit, Tapi Sosialisasi Masih Seperti Angin

Internet Rakyat Rp100 Ribu: Janji Kecepatan Langit, Tapi Sosialisasi Masih Seperti Angin

Jaringan internet di lingkungan padat penduduk Jakarta.-Cahyono-

INTERNET itu oksigen. Dulu orang butuh pulsa telepon hanya untuk suara dan SMS, sekarang butuh kuota untuk segalanya. Tanpa internet, dunia seolah berhenti berputar. Ekonomi mandek. Pelajar bingung. Komunikasi buntu.

Maka, ketika pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengumumkan ada internet murah, hanya Rp100 ribu per bulan dengan kecepatan hingga 100 Mbps, mata semua orang berbinar.

Bayangkan, seratus ribu rupiah. Itu mungkin setara dengan harga dua porsi sate kambing enak di Jakarta. Tapi kecepatannya? 100 Mbps! Itu kencang sekali.

Namun, kabar gembira itu seperti angin. Terasa sejuk di telinga, tapi wujudnya belum terlihat di mata. Terutama bagi mereka yang tinggal di gang-gang sempit Jakarta Selatan atau sekolah-sekolah di pelosok Jawa Timur.

Program "Internet Rakyat" ini digadang-gadang jadi jawaban atas mahalnya akses digital. Tapi di lapangan, ceritanya beda lagi. Ada yang sudah melihat kabelnya melintas tapi sinyalnya belum mengalir.

Ada yang sudah mendengar beritanya di medsos tapi tak tahu cara daftarnya. Ada pula yang justru baru tahu saat ditanya.

Begitulah. Antara kebijakan di atas kertas dan kenyataan di bawah kaki, sering kali ada jurang yang lebar. Nama jurangnya: sosialisasi.

Mencari Sinyal di Tengah Ketidaktahuan Warga

Mari lihat di Jakarta. Jabodetabek adalah target pasar terbesar. Logikanya, kalau ada program besar dari Komdigi, Jakarta harusnya yang paling berisik. Tapi coba main ke Cilandak, Jakarta Selatan.

Roni, seorang Ketua RT di sana, menggaruk kepalanya saat ditanya soal Internet Rakyat.

"Terus terang, di sini belum ada warga yang pakai. Malah belum tahu ada program Internet Rakyat dari pemerintah," katanya.

Roni bukan orang yang apatis. Sebagai Ketua RT, dia adalah ujung tombak informasi. Kalau Roni saja tidak tahu, bagaimana dengan warganya?

Menurut Roni, hingga kini belum ada surat sakti atau sosialisasi resmi yang mampir ke mejanya. Padahal, urusan internet ini sensitif. Kalau ada yang murah, warga pasti berebut. Tapi kalau tidak ada penjelasan, RT juga bingung mau bicara apa.

Tak jauh dari sana, Kamal (47), seorang kepala keluarga, punya kegelisahan yang sama. Dia tahu soal internet murah ini justru dari media sosial, bukan dari petugas kelurahan atau penyedia layanan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads