Internet Rakyat Rp100 Ribu: Janji Kecepatan Langit, Tapi Sosialisasi Masih Seperti Angin

Internet Rakyat Rp100 Ribu: Janji Kecepatan Langit, Tapi Sosialisasi Masih Seperti Angin

Jaringan internet di lingkungan padat penduduk Jakarta.-Cahyono-

Kukuh Prasetyo, sang Kepala Sekolah, menghela napas. Sekolahnya berada di desa yang sinyalnya sering malu-malu kucing. Kadang ada, seringnya hilang total. "Internet Rakyat belum masuk. Sekolah ini posisinya di desa. Koneksi juga belum sepenuhnya stabil," kata Kukuh.

Bagi sekolah di pelosok seperti di Sumberjambe, internet murah adalah mimpi besar. Tapi tanpa infrastruktur yang merata, Internet Rakyat hanya akan jadi milik orang kota. Kebijakan ini harus benar-benar menyentuh desa, jika tidak ingin jurang digital antara kota dan desa semakin dalam.

Wifi Gratis: Nyawa Bagi Indekos dan Warkop

Internet juga sudah menjadi instrumen bisnis bagi pelaku usaha mikro. Coba tanya Alamsyah (40), pemilik kos-kosan di Palmerah, Jakarta Barat.

Di sana, pertanyaan pertama calon penghuni kos bukan lagi soal "ada kamar mandi dalam?" tapi "ada WiFi gratis nggak?".

Alamsyah sudah lima tahun berlangganan WiFi swasta seharga Rp400 ribu per bulan untuk 10 penghuni kosnya. Kecepatannya cuma 50 Mbps.

Baginya, Internet Rakyat Rp100 ribu dengan 100 Mbps adalah tawaran yang menggiurkan. "Tertarik juga pasti, itu tergolong sangat murah tarifnya," katanya. Kalau dia bisa pindah ke Internet Rakyat, margin keuntungannya bertambah, dan penghuni kosnya pun makin betah.

Begitu juga dengan Rusdi alias Ujang (24), pemilik Warkop di Menteng. Warkopnya ramai bukan cuma karena Indomie-nya enak, tapi karena ada WiFi-nya. Mahasiswa IKJ dan karyawan sekitar sering nongkrong lama di sana hanya untuk menumpang internet.

Ujang harus membayar Rp270 ribu per bulan. Password-nya pun harus diganti setiap hari agar tidak dicuri orang yang tidak beli.

Bagi Ujang, kalau pemerintah menyediakan internet murah, beban operasional warungnya berkurang. "Nanti cari tau lah cara daftarnya. Kalau bener bagus juga lebih murah terus cepet," ucapnya optimistis.

Transformasi di Gerai Fotokopi: Dari Flashdisk ke WhatsApp

Satu lagi bukti internet sudah mengubah segalanya: bisnis fotokopi. Dulu, kita membawa flashdisk ke tempat fotokopi. Sekarang? Flashdisk itu barang antik.

Gufron (33), pemilik Ridho Fotokopi dekat kampus UIN Jakarta, sudah merasakannya. Dia sudah 25 tahun menggeluti usaha ini. Kini, pelanggannya yang rata-rata mahasiswa tinggal mengirim file lewat WhatsApp. Gufron tinggal klik, cetak, selesai. Jauh lebih efisien.

Namun, Gufron juga mengeluhkan biaya. Dia harus punya dua router agar layanannya tidak lemot. Tagihannya? Bisa Rp300 ribu sampai Rp500 ribu per bulan. Padahal kecepatannya hanya 50-80 Mbps.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads