Anak-anak dan remaja tidak hanya belajar berhitung dan menghafal, tetapi juga dilatih mengelola emosi, mengembangkan empati, menyelesaikan konflik, dan mengenali kapan mereka membutuhkan bantuan.
Pendekatan ini sejalan dengan paradigma pembangunan manusia seutuhnya (Bronfenbrenner, 1979).
BACA JUGA:KESADARAN GEOPOLITIK
BACA JUGA:Bolehkah Non-Muhrim Bersalaman? Sebuah Tinjauan Hukum Diperbolehkan dengan Catatan
Kedua, kita harus mengikis stigma.
Di banyak keluarga, mengaku lelah secara mental masih dianggap kelemahan Iman atau kurang syukur.
Di sekolah dan tempat kerja, datang ke psikolog kadang dipandang sebagai tanda “tidak normal”. Padahal, mencari bantuan justru tanda kedewasaan.
Budaya terbuka terhadap isu kesehatan mental perlu dibangun di rumah, sekolah, kampus, kantor, hingga ruang publik.
Ketiga, kapasitas profesional perlu diperkuat, tetapi pendekatan berbasis komunitas tidak boleh dilupakan.
Tenaga psikolog, psikiater, konselor sekolah, pekerja sosial, penyuluh agama, hingga tokoh adat perlu bergerak bersama sebagai jaringan pendukung kesehatan jiwa di tingkat paling dekat dengan warga.
Keempat, kita memerlukan kebijakan nasional yang mengarusutamakan kesehatan mental ke seluruh sektor pembangunan —pendidikan, ketenagakerjaan, perumahan, transportasi, hingga keamanan.
BACA JUGA:Perbedaan Sistem Pesantren dan Feodalisme-Fasisme
BACA JUGA:Nabi Muhammad SAW dan Tradisi Saling Memberi dari Ahlus Suffah dan Darul Arqam
Kesehatan mental tidak bisa hanya dibebankan pada satu kementerian.
Ia harus menjadi bagian dari perencanaan pembangunan jangka panjang.
Kelima, kita mesti menggali kembali nilai-nilai resiliensi khas Indonesia: gotong royong, kekeluargaan, kesederhanaan, dan religiusitas yang menenteramkan.