Guru Bangsa
Buya Syafii Maarif semasa hidup.-Muhammadiyah-Muhammadiyah
OKTOBER 2016. Itulah kali pertama saya mengenal Buya Syafii Maarif secara langsung. Waktu itu sedang ramai-ramainya masalah pilgub DKI. Kami dari Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) ingin mengundang beliau sebagai pembicara mengenai kesehatan sebagai bagian dari ketahanan nasional.
Namun, setelah berdiskusi dengan berbagai stakeholder, karena suatu hal dan yang dikhawatirkan akan membuat situasi kampus makin runyam, dengan berat hati beliau harus ditangguhkan sebagai pembicara.
Padahal, saya sudah telanjur menghubungi beliau. Dan beliau sudah menyanggupi datang ke Surabaya.
Maka, sebagai bentuk pertanggungjawaban, saya berangkat ke Yogyakarta untuk meminta maaf. Beliau sangat memahami hal itu. Beliau meminta saya untuk mengikuti arahan kampus karena posisi saya masih sebagai mahasiswa.
Dari situ kali pertama saya melihat sifat kenegarawanan beliau.
Ketika saya sampai di rumah beliau, ada beberapa polisi yang menjaga rumah beliau. Banyak pihak yang khawatir akan keselamatan beliau. Yakni, soal pernyataan beliau tentang kasus penistaan agama.
Buya sendiri tidak meminta dijaga polisi. Namun, ada pihak lain yang ingin menjaga beliau karena khawatir jika ada suatu hal yang mengancam keselamatan beliau.
Beliau menyambut saya di depan pagar dan menanyakan, ”Bagaimana perjalanannya dokter muda? Anda pasti capek. Ayo, ayo, kita makan dulu.”
Beliau pun mengajak saya dan beberapa polisi yang menjaga rumah beliau ke warung tongseng tidak jauh dari rumah beliau. Saya masih ingat makanan yang beliau pesan.
Rupanya, beliau sudah menjadi pelanggan di warung tongseng itu. Jika kita memesan tongseng daging, beliau sudah punya kegemarannya sendiri, yaitu tongseng paru. Saya sendiri kaget karena usia Buya yang sudah 81 tahun (waktu itu), tapi masih ”berani” dhahar tongseng paru.
Setelah itu, beliau menyampaikan kepada saya, ”Anda tahu mengapa saya menyanggupi permintaan Anda untuk mengisi acara di Surabaya?” Saya jawab tidak tahu. Beliau menambahkan, ”Saya suka dengan nama lengkap Anda, Jagaddhito Probokusumo, nama yang unik,” kata Buya. Saya hanya tersenyum sekaligus bersyukur atas nama yang diberikan ibu dan bapak saya.
Buya menambahkan, ”Anda ingat baik-baik sila ke-5 Pancasila. Itu poin paling penting bagi Anda sebagai seorang dokter. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai dokter, Anda tidak diperkenankan memilah-milah pasien Anda. Begitu juga dengan sila ke-5.
Hampir semua masalah yang ada di Indonesia akarnya adalah ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Mayoritas kekayaan Indonesia hanya dikuasai segelintir orang dan tidak merata. Itu menjadi PR Anda ke depan dalam mengisi pembangunan di Indonesia. Ingat baik-baik sila ke-5 Pancasila.” Begitu pesan Buya kepada saya.
Saya juga ingat di usia beliau yang saat itu 81 tahun, beliau masih menyetir sendiri mobil beliau. Ketika saya bertanya, ”Mengapa tidak memakai sopir saja?” Beliau menjawab, ”Tidak perlu.” Rupanya, beliau masih mampu mengendarai mobil sendiri. Beliau tidak ingin merepotkan orang lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: