Gus Muhaimin, Komunikasi Politik, dan Humor

Gus Muhaimin, Komunikasi Politik, dan Humor

Fauzan Fuadi-Dokumentasi Pribadi-

Setelah nonton bareng Film Srimulat: Hil Yang Mustahal (1/6), Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin) mengeluarkan statement menarik. Menurut ketua umum PKB tersebut, politik tidak boleh dipisahkan dari aspek sosial, ekonomi, budaya, seni, dan hiburan. "Jangan ngomong politik melulu, perlu ketawa dan hiburan. Mbelenger ambek awakmu politik tok (bosan sama kamu hanya {ber}politik saja," ujar tokoh yang digadang banyak pihak menjadi Capres 2024 tersebut. 

Meski terkesan guyon, sebenarnya ada makna mendalam yang terkandung dalam pernyataan keponakan Gus Dur tersebut. Bahwa pada dasarnya politik memang butuh humor. Sebaliknya, dunia humor atau komedi (lebih luas lagi industri hiburan) juga butuh politik.

Humor dan Komunikasi Politik

Apakah politik butuh humor? Jawabannya jelas, iya. Argumennya seperti ini.

Salah satu aspek penting dari politik adalah lobi dan komunikasi. Dalam teknik komunikasi dikenal istilah "language game" (permainan bahasa). Sebuah pernyataan dari komunikator (penyampai pesan) bisa menghasilkan maksud yang berbeda di benak komunikan (penerima pesan) apabila disampaikan dengan cara yang kurang tepat. Semua tergantung dari pilihan bahasa dan teknik penyampaiannya. Apabila seorang komunikator punya skill language game yang mumpuni, maka dia dengan mudah menyampaikan pesan kepada orang lain dengan presisi.

BACA JUGA:PKB Siap Gabung Koalisi Indonesia Bersatu Bila Muhaimin Capresnya

Salah satu varian dari permainan bahasa itu adalah humor. Jika sistem komunikasi dianalogikan sebagai mesin, maka humor ibarat oli. Cairan pelumas yang sangat dibutuhkan mesin agar berjalan optimal. Tanpa oli, mesin tidak akan berfungsi maksimal, bahkan rusak. Pun tanpa narasi komedi, komunikasi akan berjalan hampa, bahkan seret. Mampet. 

Secara filosofis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya (Tempo, 26/10/2008), mengajak kita mendekati humor, komedi, atau kelucuan menurut perspektif Simon Critchley dalam Infinitely Demanding. Humor, bagi Critchley adalah, "mengingatkan kita akan sifat rendah hati dan keterbatasan kondisi manusia."  Dengan kesadaran akan keterbatasan itu kita menemui manusia dengan mengakui sifatnya yang "komikal" (comic acknowledgement). 

Dengan begitu kita akan melihat diri kita lebih sebagai Petruk atau si Kabayan ketimbang sebagai Bhisma atau Kumbakarna. Bhisma dan Kumbakarna adalah simbol maskulinitas, sedangkan Petruk atau Kabayan adalah lambang elastisitas manusia yang bisa keras sekaligus lembut. Keras dalam prinsip namun lembut dalam penampilannya. Itulah salah satu esensi komedi. 

Contoh representatif dari konstruksi berpikir di atas adalah kritik sosial terhadap Orde Baru. Represifitas Soeharto waktu itu membuat aktivitas kritisisme menjadi "hil yang mustahal". Para aktivis yang kritis akan mengalami teror, intimidasi, penculikan, bahkan pelenyapan secara misterius. Akan tetapi kritikus Orde Baru bisa "selamat" jika pandai menggunakan permainan bahasa melalui instrumen humor. 

Warkop DKI, misalnya. Grup lawak yang digawangi Dono, Kasino, dan Indro tersebut banyak menyelipkan protes-protes sosial dalam materi lawakannya. Baik ketika masih aktif di Radio Prambors maupun ketika sudah eksis di layar lebar. Sekalipun grup lawak kondang tersebut banyak dikritik karena kerap memainkan adegan-adegan seksis dalam film-filmnya, tetap saja Warkop DKI adalah cerminan kritik sosial dalam ranah komedi. 

Kemudian ada grup lawak Bagito yang terdiri dari Miing (Dedi Gumelar), Didin, dan Unang. Dalam banyak kesempatan, Bagito selalu menyampaikan lawakannya untuk tujuan protes sosial. Akibatnya, beberapa kali mereka harus berurusan dengan aparat keamanan karena dicurigai subversif. 

Begitu pula dengan Srimulat, grup lawak legendaris tersebut banyak sekali menyuarakan banyolan-banyolan khas wong cilik. Secara spontan, Asmuni dan kawan-kawan kerap melontarkan joke-joke yang bernada "hil-hil yang mustahal" sebagai representasi dari masyarakat yang diwakilinya di panggung seni. Ringkasnya, saat itu seni komedi masih menjadi medium ampuh untuk menyuarakan protes sosial. Maka, tidak salah jika Miing Bagito pernah berkata, "komedi itu satu tingkat di atas serius."

Dalam panggung berbeda, Seno Gumira Ajidarma melalui buku, Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor (2013) coba menggambarkan dinamika kartun humor di era tirani Orde Baru. Sebagaimana tergambar dalam judulnya, Seno ingin menjelaskan bahwa "tertawa" di era itu bisa mengundang bahaya. Sebab yang ditertawakan adalah kumpulan gambar-gambar (kartun) lucu yang bernada protes sosial terhadap pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: