99,2 Persen
--
DEAR Omicron, thanks!
Itu pasti berlebihan. Omicron bukan Tuhan. Juga bukan pemerintah yang rajin mendorong vaksinasi.
Berita gembiranya: seluruh dunia kemarin tahu. Ada berita baik dari Indonesia: tingkat imunitas masyarakat Indonesia telah mencapai 99,2 persen.
Kantor berita internasional Reuters sampai memberitakan itu. Sumbernya: Pandu Riono, epidemiologist dari Universitas Indonesia.
Rupanya UI telah ditunjuk pemerintah untuk melakukan penelitian khusus: seberapa luas masyarakat kita sudah punya imun pada Covid-19.
Maret lalu survei itu dilakukan lagi. Respondennya 2.100 orang. Di Jawa. Dan Bali. Mereka diambil darah. Diperiksa di lab. Hasilnya itu tadi: 99,2 persen sudah memiliki imun.
Angka itu lebih tinggi dari Inggris: 92 persen. Jangan-jangan sudah yang tertinggi.
Dari mana saja sumber imunitas itu? Tentu Anda sudah tahu: vaksinasi.
Juga karena ada yang pernah terkena Covid-19 generasi induk –sembuh.
Lalu dari yang terkena varian Delta yang ganas itu –berhasil lolos. Jangan-jangan yang terbanyak akibat –atau berkat?– terkena varian Omicron. Yang penyebarannya begitu cepat –tapi tidak begitu menakutkan.
Vaksinasi di Jawa memang fenomenal. Di kota-kota besarnya. Terutama Jakarta dan Surabaya. Mencapai jauh di atas 100 persen –yang ber-KTP luar kota pun divaksin.
Tiap bulan pemerintah melakukan kajian tingkat imunitas itu. Dari situlah, antara lain, ditentukan kebijakan level PPKM.
Biar pun tiap bulan angka imunitas itu naik terus, pemerintah terlihat sangat hati-hati. Pun setelah 99,2 persen. Belum ada gambaran kapan bebas masker.
Di desa-desa penduduk tidak menunggu kebijakan itu. Mungkin juga karena harus menghemat pengeluaran.
Di kota masih banyak yang bermasker. Masjid Agung Surabaya masih melarang jamaah salat tarawih yang tidak bermasker. Hanya barisan salatnya sudah boleh mepet-mepet. Masjid itu juga menjadi lebih bersih dan rapi. Pengurus membagikan kantong sandal yang didesain khusus. Rapi. Warna-warni.
Singapura sudah bebas masker. Tapi kalau Anda jalan-jalan di Orchard Road –Jalan Thamrinnya Jakarta– 80 persen masih bermasker.
"Hanya yang bule tidak ada yang bermasker," ujar anggota senam saya yang kini bekerja di perusahaan IT di Singapura. Ia terlihat senam di Surabaya kemarin. Lagi liburan.
Apakah di Jepang sudah bebas masker?
"Hehehe... Orang Jepang itu suka bermasker," ujar Taki Tikada, tamu saya pekan lalu. "Sebelum Covid pun, kalau di tempat umum, kami bermasker," katanyi.
Dia ke Indonesia untuk memperkenalkan sistem evaluasi hasil pembangunan proyek di Jepang. Yang sudah berlangsung lebih 20 tahun.
Evaluasi itu dilakukan oleh rakyat yang di sekitar proyek. Apakah hasilnya sesuai dengan tujuan dan anggaran. Wakil pemerintah hadir hanya sebagai pendengar. Tidak boleh bicara. Tidak boleh klarifikasi.
Saya tidak bisa tahu apakah Taki masih secantik dulu. Dia ke rumah saya bermasker. Kami ngobrol panjang di teras belakang. Out door. Ketika saya copot masker, dia tetap bermasker.
Pemerintah kita belum mau menyinggung bebas masker. Mungkin karena ujian Covid masih akan kita hadapi lagi. Semoga ini ujian terakhir: Lebaran Idul Fitri. Orang bisa menyebut sebagai ''ujian kelulusan''.
Saya tentu termasuk yang sangat gembira. Tapi masih ada yang lebih gembira lagi. "Kalau yang sudah punya antibodi 99,2 persen berarti sebenarnya sudah 100 persen," ujar seorang peneliti virus.
Bisa jadi yang 0,8 persen itu hanya tidak terlihat punya antibodi. Padahal bisa saja sebenarnya mereka sudah punya. Hanya tidak terbaca di lab.
Seseorang yang sudah divaksin pasti sudah punya antibodi. Begitu juga yang sudah pernah terkena Covid.
Antibodi itu tidak terbaca lab setelah lewat enam bulan. Padahal antibodi itu tetap tersimpan di memori tubuh. Tidak akan hilang. Puluhan tahun. Kalau kelak tertular virus yang sama, barulah antibodi itu keluar secara otomatis.
Itulah sebabnya, ia termasuk yang tidak setuju vaksin booster. Hanya buang uang. Tapi...ia lantas tertawa. "Siapa tahu berpahala," ujarnya. Bisa membuat banyak orang senang –para pedagang vaksin.
Kenapa yang diteliti hanya 2.100 responden?
Tentu karena angka itu sudah memenuhi kaidah penelitian yang benar. Juga supaya cepat: mereka kan harus diambil darah untuk diperiksa di lab.
Sang peneliti, kini sudah selesai memeriksa berbagai virus Covid. Ia sudah bisa tahu perbedaan virus Wuhan yang dari Tiongkok, virus Delta yang dari India, dan virus Omicron yang dari Afrika Selatan.
Ia menyimpan semua koleksi virus itu di lab khusus yang diperbolehkan untuk itu.
Di virus Wuhan, katanya, ada unsur virus korona kelelawar. Yang Delta ada unsur virus korona kucing. Sedang yang Omicron ada unsur virus korona dari tikus.
Ia juga menyimpulkan: virus Wuhan dan Delta menyerang langsung saluran pernapasan dan paru. Yang mengakibatkan sesak napas. Sedang Omicron menyerang pencernaan. Yang mengakibatkan diare.
Kini ia lagi konsentrasi untuk sebuah pertanyaan besar: mengapa Tiongkok sampai me-lockdown kota sebesar Shanghai. Yang berpenduduk 25 juta jiwa.
"Logikanya tidak masuk", katanya. Ia curiga, itu bukan hanya karena Omicron. Tiongkok itu penemu vaksin Sinovac. Penemuan tercepat dibanding vaksin yang lain. Tingkat vaksinasi di sana juga sudah merata. Berarti mayoritas sudah punya imunitas.
Perbedaan varian Omicron dengan sebelumnya hanya 2 persen. Mestinya bukan perkara besar bagi Tiongkok. Tapi kok sampai lockdown.
Padahal Tiongkok sudah berhasil mengatasi virus Wuhan. Juga bisa mencegah virus Delta. Wuhan, Delta, Omicron sama-sama Covid-19. Mestinya Shanghai tidak perlu takut. Toh hanya beda 2 persen.
Peneliti itu pun curiga jangan-jangan ada varian lain yang sengaja dilepas di sana. Lalu Tiongkok masih merahasiakannya. Sampai Tiongkok berhasil menemukan vaksinnya.
Bisa saja ditemukan varian yang lebih berbahaya: yang ada unsur dari korona unta. Yakni Covid-19 tercampur virus Merc. Yang sangat mematikan di Timur Tengah itu.
Ia kian tenggelam di lab. Ia harus tahu kalau itu sampai terjadi di sana. Agar tidak menjalar ke sini. Maka, lockdown di Shanghai itu, baik juga untuk kita. Dan untuk dunia.
Kita berharap kecurigaan peneliti kita itu salah. Ternyata itu hanya Omicron kita juga. Biarlah ia terus meneliti.
Kalau pun itu benar, kita doakan Tiongkok cepat menemukan vaksinnya. Dan kita bisa mengimpornya –lagi. (Dahlan Iskan)
Pembaca Disway mengirimkan email kepada saya yang berisi artikel tentang penggunaan heparin untuk pengobatan stroke. Artikel berjudul: Low-Molecular-Weight Heparin for the Treatment of Acute Ischemic Stroke itu diterbitkan oleh The New England Journal of Medicine. Berikut link artikel tersebut: https://bit.ly/ARTIKELHEPARIN
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul Senyum Tenang
Budi Utomo
Sudahlah Abah. Jangan bahas Terawan lagi. Kasihan beliau. Semoga Abah bisa membantu dengan “melupakannya”. Sama seperti Abah berusaha melupakan “urusan yang tak perlu” yang hampir saja menjebloskan Abah ke penjara. Walau Abah sama sekali tak bersalah dan Abah adalah menteri yang diam-diam saya kagumi selain Sri Mulyani di masa itu. Saya berharap Abah sehat dan berumur panjang. Dan bisa membaktikan diri untuk negeri. Sesuai janji Abah setelah menerima transplantasi hepar/lever. Melawan para oligarki-oligopoli yang kejam dan serakah yang masih menguasai negeri ini di belakang layar. Btw, terima kasih komentar saya pertama kali di DISWAY kemarin langsung dipilih. Ada hadiahnya gak? He he he.
Teguh Wibowo
Abah : "Saya bukan dokter, bukan peneliti, bukan ahli. Saya penulis." Pembaca disway: "Saya komentator." (sambil senyum mencep)
hilman g
Dulu sy suka heran knp bangsa kita gak maju2, dulu sy suka aneh knp kita banyak import macam2, dulu sy sering bingun kp sedikit sekali ilmu dan teknologi hasil pemikiran asli bangsa kita... Tapi skrg sy sdh mendapat jawabannya.... Karena bangsa kita hanya terdiri dari kampret dan kadrun yg cuman bisa bertempat tinggal di gua alias gak pernah bikin rumah sendiri... Setiap kampret ato kadrun bikin sarang sendiri maka yang lain akan iri dengki dan menghancurkan sarang tersebut. Bangsa kita bukan burung walet yang pandai membuat sarang masing2. Setiap walet boleh berkreasi sendiri tanpa saling mengganggu. Krn mrk tau sarang yg mrk bikin punya manfaat dan berharga tinggi. Banyak organisasi bangsa kita persis spt kampret dan kadrun, tidak mau saling support sesama bangsa, tp bersemangat saling menghancurkan dan menjatuhkan satu sama lain...
Pembaca Disway
Saya coba baca artikel ttg "intra arterial heparin flushing".. dari tulisannya Pak Terawan (2016) dan Pak MH Machfoed (2016, ga nemu yg di versi 2022) malah pusing sendiri.. ternyata dokter bahasanya alien haha.. Ya sudahlah no comment saja.. Btw Pak Dahlan mungkin bisa share artikel yg di New England Journal Medicine.. siapa tahu ada yg mau baca.. saya cari artikelnya nggak ketemu..
Ahmad Zuhri
Apakah orang yg berobat ke dokter itu pasti sembuh? Tentu tidak.. ada yg sembuh, bahkan ada yg meninggal. Apakah orang yg transplantasi hati seperti Abah itu sehat kembali semuanya? Tentu tidak.. bos Indofood salah satunya jg meninggal. Disamping disiplin dan blm waktunya 'pulang' , banyak faktor yg berpengaruh juga.. Ada yg sakit berobat ke dukun, paranormal, tabib, Kyai, dll.. itu bagian dari ikhtiar. Kadang kita itu dinilai karena melewati proses/usaha yg dilakukan, bukan hasil akhir nya..
Faurizal M
Sudah bbrp tulisan terdahulu.menjelaskan bahwa testimoni dan dukungan dari para pasien orang besar tsbt berasal akibat efek plasebo dari heparin yang disemprotkan dalam prosedur DSA tsbt. Saya berpikir kayaknya heparin ini oleh neuro reseptor yg ada diotak di persepsi sebagai neuro transmitter yg menimbulkan sensasi rasa senang ,rasa segar , bugar dst. Dia juga puny efek sama seperti adrenalin, katekolamin ,hormon bahagia yg dihasilkan badan setelah selesai olahraga .juga senam dansa yg rutin pak Di lakukan.
muhammad gathmir
Mohon maaf sedikit sharing, 2018 Ibu Sy 79th DSA, kalau ketemu orang ditanya berobat apa, selalu dijawab tidak diapa2in & malah protes ke Sy kenapa ngabisin duit saja utk berobat yg nggak diapa2in. Sy yg setiap hari ketemu Ibu dan orang lain yg tahu bagaimana keadaan sebelum dan sesudah DSA, dapat melihat bagaimana cesplengnya DSA dari sebelumnya kalau jalan melayang2 dan harus pegangan, setelah DSA jadi tdk perlu pegangan dan Alhamdulillah skr sdh 83th masih bisa jalan tanpa berpegangan. Sy pernah menulis komentas disini ttg pengalaman mendampingi Ibu dan mengapa memutuskan utk membawa Ibu utk DSA (setelah menyaksikan dua saudara dekat berhasil DSA). Jadi sensasi segar mungkin saja terjadi, tapi khusus Ibu, dia tdk merasakan apa2.
Lukman bin Saleh
Kreen... Testimoni langsung. Tp bg org awam spt sy. Tdk peduli prosesnya spt apa. Tp pd akhirnya stroke sembuh. Ya obat stroke namanya. Bukankah begitu?
Edi Fitriadi
Kalau dalam buku khoping ho, untuk memperlancar aliran darah ke seluruh tubuh perlu bantuan seorang ahli tenaga dalam (ewekang) hehehe
Reply
achmat rijani
Ikke pernah berkata: "Senyumlah untuk semua orang, tapi hatimu jangan".
Amat Kasela
Senyum Sesuatu yang berat Dilakukan meski saya suka senyum. Apalagi kalau sedang jalan bersama istri. Tidak bisa senyum ke semua orang. Senyum ke cewek tidak bakalan bisa. Yang ada, bisa-bisa istri yang tidak senyum lagi ke saya dan jadi pemicu perang dunia ke-3. Jatah: lupakan saja.
daeng romli
Klo senyum dr Terawan adalah bukan senyum yg menantang, senyum yg sinis atau senyum yg dimencep mencepkan. Ini ada guyonan suroboyoan antara Cak Sontolowo dgn Cak Kartolo : Sontolowo : Bojoku iku wonge sume, ketemu sopo ae mesem Kartolo : Lah iku lak apik seh cak..... Sontolowo : Iyo seh, tapi suwe2 tak sawang iku dudu mergo bojoku sume Kartolo : Lah terus mergo opo cak.... Sontolowo : Bareng tak gathekno, tibak e lambene bojoku cupet..... Kartolo : wakakakaka wes ngono ae Bah Salam sehat....
Pax Politica
Biasanya orang yang tidak punya kepentingan lebih mudah tersenyum dalam tekanan karena mereka bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Namun orang dengan kepentingan akan sulit tersenyum dalam tekanan karena mereka terlalu sibuk melawan terpaan badai yang menghambat arah yang ingin dicapai.
Fauzan Samsuri
Apa arti senyumnya p. Terawan yang tahu pasti ya p. Terawan sendiri, tapi kalau ada orang yang berbuat baik tidak peduli dibilang apa, dalam agama Islam termasuk kategori ikhlas yang ciri-cirinya ada tiga; 1. Menganggap sama pujian dan celaan dari manusia pada umumnya, 2. Melupakan perbuatan dari amal-amal baiknya, 3. Hanya berharap ganjaran akhirat (dari Dzun Nun dalam kitab At Tibyan karangan Imam Nawawi)
thamrindahlan
134 Selamat petang Menyambung # 28 koment pada urutan sahur dibawah fokus ke judul senyum tenang. Seandainya tidak bisa mengikuti 40 hari 40 malam untuk memastikan ke asli an kepribadian seseorang maka bisa ditempuh cara ke -2. Cara kedua itu adalah bertanya dari hati kehati kepada 5 orang. Mereka adalah orang terdekat yaitu istri/suami, ajudan, sopir dan pengawal serta sekretaris sekiranya Beliau itu pejabat. Anda Akan Tahu bagaimana perilaku pak bos terutama terkait senyum tenang itu. Salamsalaman
Liam Then
Ringkasan kronologis peristiwa : "Itu hanya DSA" *Senyum. "DSA itu teknik ini,ini,ini bukan pengobatan." *Senyum "Sini jelaskan tekniknya" *Senyum "Pak Presiden, orang ini tidak tepat jadi menteri kesehatan" Diam ,eh senyum lagi *Covid datang* *Jadi kursi kosong* *Di berhentikan jadi menteri* *Tetap Senyum* *Di berhentikan jadi anggota IDI *Masih Senyum* Gak bisa praktek *Senyum ajaaaa* Aduh aduh aduh...Dr.T ...saya jadi mau lihat kalo Dr.T sakit gigi, senyum nya gimana.
LiangYangAn 梁楊安
Pertanyaan seputar masalah ini masih saja menggelitik hati saya. Mengapa pihak-pihak yang terkait tidak menerima "terobosan yang dilakukan dr.Terawan" ?? Kalaupun metode dr.Terawan perlu penyempurnaan, ini adalah momentum yang sangat baik dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di Bidang Kedokteran. Saya jadi teringat akan kisah Si Genius Albert Einstein. Apakah Einstein selalu tepat dan benar dalam Teori Fisika ?? Jawabannya "Anda Sudah Tahu" (haha... pinjam ya Pakde Dahlan Iskan) ; ada cukup banyak kekeliruan Sang Genius di dalam Teori Relativitas yang di-teori-kannya, khususnya yang menyangkut Mekanika Kuantum, Konstanta Kosmologis, dlsb. Apakah dengan kekeliruannya tersebut lantas Einstein "dipecat sebagai Fisikawan" ?? Anda juga Sudah Tahu jawabannya : Tidak. Justru Kekeliruan Einstein tersebut (Ke-tidak sempurna-an) dalam Teori Relativitasnya menjadi landasan Fisikawan-Fisikawan yang lain untuk melakukan Riset yang masif, sehingga terjadilah kemajuan Science dan Technology yang berkaitan dengan Teori yang pada awalnya tidak sempurna tersebut. Terapannya pun kita rasakan manfaatnya saat ini, seperti Internet, GPS, dlsb. Sayang sekali... hal tersebut di atas tidak terjadi di sini, bahkan tersirat seolah-olah "hei... dr Terawan anda keliru !! stop atau dipecat !!" Tanpa ada terobosan (rintisan), maka kita hanya akan berkutat di satu titik, titik stagnasi.
Liam Then
"Sudah konsultasi ke dokter?" "Sudah" "Kapan" "Kemarin" "Dimana?" "Online" #lagitren
Pryadi Satriana
"Jawabnya selalu sama: saya ini hanya ingin menolong orang." Ngomong2 ttg dokter yg menolong orang, saya teringat drg. Endang Witarsa - panggilan akrabnya Dokter Sun Yu. Ayah saya cukup dekat dg Dokter Sun Yu, yg melatih ayah waktu merumput di Persija, juga PSSI, sebelum hijrah ke Malang. Kepada pasien yg tidak mampu, Dokter Sun Yu tidak memungut biaya jasa, malah memberi uang. Hati Dokter Sun Yu gampang tersentuh, gampang menolong orang, secara spontan. Pernah suatu kali Dokter Sun Yu & ayah naik becak. Becak dihentikan seseorang. Ditodong. Dokter Sun Yu diminta dompetnya. Diberikan. Waktu penodong pergi justru dipanggil. Arloji Dokter Sun Yu malah diberikan. Merk Rolex. Ayah saya melongo. "Kasihan, dari matanya saya tahu ia orang susah. Ia nodong karena terpaksa," kata Dokter Sun Yu. Itu cara menolong Dokter Sun Yu. Bagaimana dg Dokter Terawan - yg izin praktiknya masih sekitar dua tahunan, apa yg dimaksud beliau dg "hanya ingin menolong orang"? Apa pasien tak mampu digratiskan DSA, krn beliau sudah kuuaya raya? Apa bisa "mbayar pake kartu BPJS"? Apa Abah mau menanyakannya ke Dokter Terawan? Atau Abah justru malu untuk menanyakan "pertanyaan bodoh" tersebut? Saya kepo,"Pernahkan Dokter Terawan menggratiskan DSA kepada pasien yg datang, sekali saja?" Sehat selalu. Salam. Rahayu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber:
Komentar: 170
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google