Tolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022, Buruh Minta Balik ke UU Nomor 13 2003

Tolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022, Buruh Minta Balik ke UU Nomor 13 2003

Jelang Hari Buruh atau yang kenal dengan May Day, yang jatuh pada 1 Mei 2023, KSPI akan memperingati May Day secara serentak di 300 kab/kota lebih. -Intan Afrida Rafni-

JAKARTA, DISWAY.ID - Partai Buruh meminta kepada Presiden Joko Widodo dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 tahun 2022.

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan pihaknya meminta Pemerintah mengembalikan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003.

"Sikap Partai Buruh terhadap Perppu no 2 tahun 2022, meminta kepada Bapak Presiden dan DPR RI untuk kembali kepada isi Undang-undang Nomor 13 tahun 2003," katanya kepada awak media, Sabtu 14 Januari 2023.

BACA JUGA:Buruh Datangi Istana Tolak Perppu Ciptaker: Isinya Sangat Merugikan

BACA JUGA:Listrik Gratis Segera Terwujud, Pembatasan Solar Panel Dihapuskan Pemerintah

Menurut pihaknya, UU Nomor 13 tahun 2003 syarat minimal untuk perlindungan kaum buruh.

"Undang undang nomor 13 tahun 2003 adalah syarat minimal untuk perlindungan kaum buruh yang disorot diantara 9 poin adalah tentang upah minimum," ucap Said Iqbal.

"Perppu tentang upah minimum adalah kembali pada rezim upah murah." tandasnya.

BACA JUGA:Tingkat Kejahatan Jakpus Meningkat, Kepolisian Beberkan Penyebabnya

BACA JUGA:Ribuan Buruh Geruduk Istana, Polisi dan TNI Turun Tangan

Said Iqbal mengatakan aksi kali ini pihaknya menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2022.

"Pada hari ini, Partai Buruh bersama organ- organnya melakukan aksi nasional dalam rangka tagline utamanya, isu utamanya adalah menolak isi Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Omnibus Law Cipta Kerja," katanya kepada awak media, Sabtu 14 Januari 2023.

Menurut pihaknya, isi undang-undang tersebut sangat merugikan beberapa pihak seperti buruh, petani, nelayan dan tenaga honorer.

"Penolakan ini didasari setelah mempelajari isi Perppu, sangat merugikan kepentingan kaum buruh, petani, nelayan, miskin kota, kaum guru dan tenaga honorer, pekerja rumah tangga dan juga kelas pekerja lainnya," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: