Masa Depan Subsidi dan Kompensasi BBM, Distribusi Sudah Tepat Sasaran?

 Masa Depan Subsidi dan Kompensasi BBM, Distribusi Sudah Tepat Sasaran?

Ternyata harga Pertalite aslinya bisa tembus Rp 13.000 per liter-Foto/Pixabay/Engin_Akyurt-

Oleh karena itu, setiap perubahan kebijakan menyangkut BBM perlu mengingat tiga poin utama.

Poin pertama, availability atau produk BBM harus betul-betul dipastikan tersedia di seluruh Indonesia.

Kedua, accessibility, yaitu produk BBM ini dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dan yang terakhir, affordability, yaitu harga untuk BBM tersebut tersedia dengan harga yang murah sehingga masyarakat tidak terbebani.

Sementara itu, Maompang Harahap, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas kementerian ESDM, menyampaikan memang saat ini terdapat pembahasan mengenai perubahan peraturan presiden nomor 191 tahun 2014 yang baru.

BACA JUGA:Mayat Wanita Muda Ditemukan Mengambang di Kalideres, Polisi Langsung Olah TKP

Pembahasan perubahan ini memang banyak diskusi dan masukan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait, khususnya mengenai bagaimana melakukan pengaturan pengendalian, termasuk juga penguatan pengawasan di lapangan pada saat nanti substansi dari perubahan ini diimplementasikan.

Terkait pengawasan di lapangan, Putra Adhiguna, Kepala Penelitian Teknologi Energi untuk IEEFA, memaparkan bahwa saat ini konektivitas Pertamina dengan SPBU telah dibuat secara elektronik. 

Misalkan, sudah ada 520 SPBU per Februari 2023 yang memiliki konektivitas CCTV SPBU dengan data center Pertamina.

Namun, perlu dicatat bahwa total SPBU di Indonesia terdapat antara 4000 – 5000 SPBU.

Selanjutnya, Putra Adhiguna juga menyampaikan bahwa teknologi memang dapat membantu dalam membatasi penggunaan BBM subsidi. 

Namun, perlu diingat bahwa teknologi bukan merupakan kunci utama dalam pengendalian subsidi BBM.

BACA JUGA:Mayat Wanita Muda Ditemukan Mengambang di Kalideres, Polisi Langsung Olah TKP

Melihat data historis dan pengalaman dari daerah lain, yang menjadi kunci utama adalah komitmen untuk bisa berlanjut dalam pengendalian BBM. Mengingat yang sering terjadi, ketika harga BBM mulai menurun, maka prioritas kebijakan pun mulai bergeser. 

Bahkan, publik pun masih akan teringat mengenai besarnya gaung program RFID pada tahun 2014 yang saat ini hilang begitu saja.

Imaduddin Abdullah, Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, memaparkan beberapa urgensi reformulasi kebijakan BBM seperti posisi Indonesia yang saat ini merupakan net-importir minyak, konsumsi BBM JBKP yang cenderung tidak tepat sasaran, dan tingginya jumlah penyalahgunaan subsidi BBM. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: