Trio Kalayang
--
SAYA bertemu temannya Gus Dur Kamis lalu. Ia ke rumah saya. Menarik. Lalu saya ajak podcast. Sekaligus dua tema: soal Stadion Gelora Bung Karno dan soal hubungannya dengan Gus Dur.
Harus buru-buru. Harus selesai dalam satu jam. Saya harus ke bandara: ke Balikpapan.
Sebenarnya asyik ngobrol dengan Pendeta Tjahjadi Nugroho ini. Sama asyiknya ngobrol dengan Panji Gumilang. Saya bisa bicara tentang apa saja di sekitar Tuhan.
Nugroho memang bertrio dengan Gus Dur. Dalam hal keagamaan, ketuhanan, dan kerohanian. Satunya lagi: Bingky Irawan yang beragama Konghucu.
Dari trio itu tinggal Nugroho yang masih hidup: 80 tahun. "Gus Dur itu kiai gendeng, saya pendeta edan, dan Bingky itu Konghucu gila," ujar Nugroho mengutip gurauan Gus Dur.
Pun ketika Gus Dur sudah jadi presiden, trio itu tetap sering bertemu. "Sinode gereja saya tidak akan diakui pemerintah kalau Gus Dur tidak jadi presiden," ujar Nugroho.
Nugroho memang berselisih paham dengan gereja lain pada umumnya. Terutama dalam hal trinitas. Maka Nugroho pilih bikin gereja sendiri. Punya Sinode sendiri: JAGI. Gereja Jemaat Allah Global Indonesia.
Tapi agar sebuah sinode diakui pemerintah, harus mendapat rekomendasi tiga sinode yang sudah ada. "Saya sudah minta rekomendasi ke berbagai sinode. Tidak ada yang mau," ujar Nugroho.
Hal itu disampaikan ke Gus Dur. Jauh sebelum Gus Dur jadi presiden.
"Tenang saja," kata Gus Dur seperti ditirukan Nugroho. "Kelak saya akan jadi presiden. Nanti saya yang mengizinkan," ujarnya. "Lho kok beneran jadi presiden," ujar Nugroho.
Sayang tidak banyak waktu hari itu. Saya harus ke Kaltim. Ke IKN lagi? Tidak. Ada forum Bank Indonesia di Balikpapan. Soal pertumbuhan ekonomi di wilayah itu.
Besoknya harus ke Yogyakarta. Bertemu sekitar 500 orang yang bergerak di bidang internal audit. Penyelenggaranya: Yayasan Pendidikan Audit Internal. Auditor senior ikut kumpul di situ.
Malamnya balik lagi ke bandara Yogya. Mau ke Jambi. Saya tidak mau diantar ke bandara. Ke stasiun Tugu saja. Saya ingin merasakan naik kereta ke bandara: untuk kali pertama. Apakah betul hanya 40 menit. Saya ingin bandingkan pakai mobil: hampir dua jam.
Maka saya naik kereta terakhir: 19.17. Sepi. Hanya sekitar 20 orang penumpangnya. Itu pun ada yang turun di stasiun Wates. Lima orang. Tidak ada yang naik dari Wates untuk ke bandara.
Ada penerbangan ke Jambi malam hari? Tidak ada.
Pesawat ke Jambinya keesokan harinya: pukul 7 pagi. Saya ingin merasakan bermalam di hotel yang ada di bandara: Cordia. Malam itu saya tidak mau ada acara tambahan di Yogya. Saya ingin konsentrasi membaca novel. Tebal. Kiriman John Mohn dari Kansas. Itu novel kedua yang ia tulis.
Novel pertamanya bagus sekali: tentang masa mudanya. Saat bergabung di militer. Cedera. Tidak jadi dikirim ke Vietnam. Lalu ditugaskan sebagai Polisi Militer Amerika di Jerman. Pulang ke Kansas ia tidak punya rumah. Ia tinggal di dalam mobil di pinggir sungai. Berbulan-bulan. Ekonomi pedalaman Amerika menurun saat itu.
Novel keduanya ini tentang perjalanannya ke berbagai koran daerah di Indonesia. Mengajar jurnalistik, fotografi, dan layout di berbagai koran grup Jawa Pos. Sambil menanamkan benih-benih kebebasan pers di zaman otoriter Orde Baru. Sampai runtuhnya Presiden Soeharto.
Pelaku utama di novel itu: bos harian Pos Pagi. Namanya Imam. Tentu itu novel. Fiksi. Tapi saya merasa ada di situ sebagai Imam. Kian lama membacanya kian seru ceritanya. Di novel itu.
Di kereta itulah saya mulai membacanya. Kereta bandara itu populer sekali. Kalau siang. Penuh. Murah: Rp 20.000. Banyak penumpang yang membeli karcis di dua jam yang berbeda. Kalau pesawat tiba terlambat masih tetap bisa naik kereta berikutnya. Toh dua karcis hanya Rp 40.000.
Memang kereta ini berisik: bermesin diesel. Tapi tiba di bandara tepat waktu. Tepat pula lokasi stasiunnya: benar-benar di dalam bandara.
Mudah pula mencari di mana lokasi hotelnya: di dalam bandara juga. Hotel baru. Masih bersih. Saya langsung masuk kamar. Mandi. Membaca. Sampai tertidur sendiri.
Pukul 03.00 pun bangun. Sudah terbiasa. Setelah urusan pribadi selesai, membaca lagi. Tidak perlu buru-buru ke bandara karena sudah di bandara.
Tiba di Jakarta saya harus pindah terminal: dari terminal 2 ke terminal 1. Saya putuskan naik Kalayang. Kali pertama juga. Kalayang ini sebenarnya di bandara juga tapi terasa di luar bandara. Harus menyeberang jalan dulu.
Stasiunnya bagus. Modern. Terjaga kebersihannya. Tapi saya terkecoh. Saya sudah naik di Kalayang yang benar: ke jurusan terminal 1. Bukan yang ke terminal 3.
Maka begitu kereta berhenti saya turun. Logika saya, itu sudah sampai terminal 1. Saya pun ikut arus penumpang yang turun dari kereta. Lalu turun lagi pakai eskalator.
Ternyata itu belum terminal 1. Dari terminal 2 ke terminal 1 itu Kalayang berhenti dulu di satu stasiun. Itulah stasiun Kalayang untuk ke stasiun kereta api.
Maka saya balik lagi ke stasiun Kalayang. Harus menunggu lagi Kalayang berikutnya: 10 menit. Saya pun mulai khawatir ketinggalan pesawat ke Jambi.
Alhamdulillah: pesawat ke Jambinya delay. Tidak kepalang tanggung: dua jam.
Untung novel itu harus dikebut. Mau telat tiga jam pun saya tidak jengkel. Paling acara di Jambi yang kacau.
Berarti benar keluhan di kereta bandara Cengkareng itu. Lokasi stasiunnya seperti di luar bandara. Kelak perlu disatukan dengan cara penambahan bangunan layang si atas jalan depan terminal.
Turun di stasiun Kalayang terminal 1, kita harus keluar stasiun dulu. Panas. Lalu menyeberang jalan. Panas. Menyusuri selasar panjang di 1B. Panas.
Untung saya sudah punya boarding pass ke Jambi. Saya lihat lagi di layar: sama dengan yang di boarding pass. Saya harus masuk ruang tunggu A7.
Ternyata saya salah. Yang benar harus ke A3. Salah nomor ruang tunggu seperti itu bukan lagi keluhan. Sudah dianggap kebenaran baru.
Sambil membaca novel saya perhatikan pengumuman di pengeras suara. Begitu sering ada pengumuman pindah ruang tunggu. Layar komputer seperti dianggap lambang formalitas modernisasi bandara saja. Bukan isinya. Antara tulisan di layar, di gate, dan suara di pengumuman tidak harus sama.
Saking asyiknya novel itu telah mengganggu ritme saya. Di ruang tunggu seperti itu biasanya saya menulis naskah untuk Disway. Sampai turun di Jambi pun saya masih asyik dengan novel. Justru kian asyik. Kian ingin tahu ending-nya. Sejenak saya melupakan tuntutan mutu pembaca Disway. Kali ini saja. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Edisi 7 Juli 2023: Solid-State
MULIYANTO KRISTA
Terbitnya telat tapi adminnya mulai jujur. Jam yang tertulis sudah sesuai waktu terbitnya artikel. Jempol dua untuk adminnya. #BERANI JUJUR ITU HEBAT.
Mukidi Teguh
Dulu waktu Abah masih wartawan pemula, waktu ngetik masih di WS7, operating system masih disimpan di disket 5,25 inci. Lalu diperamping menjadi ukuran 3,5 inci. Karena data suka ilang pas mati lampu, maka datanglah era hardisk yang menggunakan cakram berputar tertanam permanen di dalam box CPU. Hardisk berjaya hingga puluhan tahun, bahkan sampai hari ini. Tapi kata orang, setelah puncak, akan selalu menuju lembah. Era hardisk tergantikan oleh SSD, alias SOLID STATE DRIVER. Walau awalnya mahal dan kapasitasnya kecil, tapi semakin digemari. Bayangkan, orang seperti saya yang terbiasa menunggu booting windows sampai 5 menit, harus berdecak kagum karena waktu booting kurang dari 5 detik. Bisa jadi ini pula yang akan terjadi pada MobLis. Kita anggap hardisk analog dengan batre litium, dan SSD analog dengan SSB (solid state battery), maka tinggal nunggu waktu batre litium tergeser oleh SSB. Bagaimana dengan negri seribu kereta cepat yang sudah habis-habisan investasi di bidang litium? Tenang ga usaha khawatir, selalu ada jalan keluar. Masih ingat kan bagaimana ahli layar LED Samsung tiba-tiba muncul di sana membawa segepok data.
Liáng - βιολί ζήτα
Salah satu "penghambat" kemajuan kita, termasuk perkembangan riset dan keberanian mengaplikasikan suatu temuan baru Putra Terbaik Bangsa ini adalah "Status-quo Bias" yang masih dominan baik di Pemerintahan, Pelaku Usaha maupun Penyandang Dana Kredit (Perbankan). Juga apresiasi dari masyarakat yang relatif rendah terhadap hasil karya bangsa sendiri. Terlalu banyak kepentingan yang terus dipertahankan untuk tetap berada pada zona nyaman. Status-quo Bias adalah salah satu Cognitive Bias mengacu pada preferensi orang-orang untuk menjaga hal-hal seperti kondisi saat ini. Di bawah kondisi Status-quo Bias, orang-orang menganggap perubahan sebagai risiko atau kerugian. Oleh karena itu, orang-orang berusaha mempertahankan situasi seperti saat ini. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas keputusan mereka. Status-quo Bias dapat menimbulkan resistensi terhadap perubahan, menghambat kemajuan, atau menyebabkan kita kehilangan peluang berharga. Oleh karena itu, yang pertama-tama mesti diubah adalah "mindset" kita sendiri, bahwa kita mampu sama seperti bangsa lainnya... dan sepertinya hal tersebut masih perlu waktu yang cukup panjang...
Liáng - βιολί ζήτα
selingan The story behind the song : "Crying In The Rain" - The Everly Brothers. Lagu Crying In The Rain - hasil karya komposer Carole King, liriknya ditulis oleh Howard Greenfield - dinyanyikan pertama kali oleh Everly Brothers (Isaac Donald "Don" Everly dan Phillip "Phil" Everly) - dirilis pada tahun 1962 - rekamannya berlangsung sebelum Don dan Phil Everly dilantik masuk ke Cadangan Korps Marinir Amerika (bertugas selama 6 bulan). Carole King dan Howard Greenfield menulis lagu Crying In The Rain itu ketika mereka sedang berada di dalam mobil di New York dan sedang turun hujan lebat. Suara air hujan yang mengena atap mobil mereka terdengar begitu jelas, lantas terbersit di pikiran mereka berdua tentang sebuah lagu yang akan menangkap suasana hati saat hujan lebat. Kemudian Howard Greenfield mengajukan ide "bagaimana kalau Crying In The Rain" ?? Crying In The Rain mengemukakan skenario di mana seorang pria yang dicampakkan oleh kekasihnya menunjukkan rasa bangga yang cukup untuk menjaga wajah tegarnya di hadapan mantan kekasihnya, sedangkan kekecewaannya dia tahan menunggu hingga hujan turun yang akan menjadi topeng wajahnya yang berlinang air mata. "Aku mungkin bodoh, tetapi (sayangku) kamu tidak akan pernah melihat saya mengeluh ataupun sedih ; karena, apa bedanya tetesan air mata di wajahku dan tetesan air hujan yang membasahi wajahku ??" [1].
Mirza Mirwan
Kalau dibilang Toyota terlambat memasuki mobil listrik, itu memang benar. Tetapi bila dikatakan Toyota belum masuk, jelas keliru. Sejak tahun lalu Toyota sudah bikin mobil listrik, kok. Toyota bZ4X, itulah EV buatan Toyota. Tetapi, ya itu, Toyota bZ4X itu menggunakan baterai lithium-ion cair seperti mobil EV kebanyakan. Tentang solid-state battery, nah.....ini memang terobosan baterai dari Toyota. Dengan baterai solid-state itu dimungkinkan bisa mengurangi setengah ukuran, berat, dan ongkos pembuatan baterai. Hebatnya, dengan baterai solid-state nantinya bisa menempuh 745 mil (hampir 1200km) dengan sekali charge tak lebih dari 10 menit. Yang bilang gitu bukan Koji Sato, tetapi bawahannya: Keiji Kaita, presiden pusat riset dan pengembangan netralitas karbon, lembaga milik Toyota. Tetapi, seperti ditulis Pak DI, mobil listrik Toyota dengan baterai solid-state itu paling cepat baru bisa masuk pasar tahun 2027 mendatang. Harap sabar.
imau compo
Saya kira Jepang tidak tenang juga dengan situasi sekarang tetapi karakter prudent mereka membuat produk baru belum bisa mereka keluarkan. TV dan HP Sony akan menjadi pelajaran bagi mereka. HP Sony sdh mulai hilang di pasar sementara TV hanya Sony yg bangkit itupun tidak merajai pasar premium lagi.
Johannes Kitono
Toyota itu seperti pelari Marathon. Saat start membiarkan para pesaingnya berlari duluan dan tetap mengikuti dari belakang. Satu persatu dilewati ketika ada kesempatan. Biasanya disalin pas ditikungan. Sebagai pelari yang pengalaman cukup atur jarak di nomor 2 atau 3 saja. Nah ketika 5 a 10 km menjelang finish mulailah menempel terus ke pelari no 1. Umumnya pelari nomor 1 selalu merasa terbebani kalau di tempel terus. Sambil berlari terkadang mencuri melihat ke samping. Begitu lengah sekian detik saja, pelari no 2 langsung melesat menyentuh garis finish disorot oleh kamera mass media. Itulah yang terjadi dengan Toyota dengan mobilis dan baterai solid statenya. Blue Bird yang menguasai dunia taxi di Indonesia melakukan hal yang sama seperti Toyota. Ketika taxi online seperti Uber dan Grab masuk Indonesia.Blue bird tenang tenang saja sampai mempersiapkan diri. Dengan program mybluebird dan Corporate Culture yang solid ternyata taxi Blue Bird tetap nomor satu di Indonesia. Selain pelayanan purna jual yang bagus. Saat ini harga mobil bekas Toyota nilainya tertinggi dibanding merk lainnya. Suka tidak suka Mobil Toyota tetap menjadi leading brand di Indonesia
Johannes Kitono
Toyota itu seperti pelari Marathon. Saat start membiarkan para pesaingnya berlari duluan dan tetap mengikuti dari belakang. Satu persatu dilewati ketika ada kesempatan. Biasanya disalin pas ditikungan. Sebagai pelari yang pengalaman cukup atur jarak di nomor 2 atau 3 saja. Nah ketika 5 a 10 km menjelang finish mulailah menempel terus ke pelari no 1. Umumnya pelari nomor 1 selalu merasa terbebani kalau di tempel terus. Sambil berlari terkadang mencuri melihat ke samping. Begitu lengah sekian detik saja, pelari no 2 langsung melesat menyentuh garis finish disorot oleh kamera mass media. Itulah yang terjadi dengan Toyota dengan mobilis dan baterai solid statenya. Blue Bird yang menguasai dunia taxi di Indonesia melakukan hal yang sama seperti Toyota. Ketika taxi online seperti Uber dan Grab masuk Indonesia.Blue bird tenang tenang saja sampai mempersiapkan diri. Dengan program mybluebird dan Corporate Culture yang solid ternyata taxi Blue Bird tetap nomor satu di Indonesia. Selain pelayanan purna jual yang bagus. Saat ini harga mobil bekas Toyota nilainya tertinggi dibanding merk lainnya. Suka tidak suka Mobil Toyota tetap menjadi leading brand di Indonesia
Komentator Spesialis
23 tahunan lalu saya pernah kerja di salah satu perusahaan kelas dunia pembuat solid state battery. Cukup lama sekitar 15 tahunan. Perusahaan tempat saya bekerja sempat mengakuisisi anak perusahaan Fujitsu yang bergerak di bidang ini. Sebenarnya solid state battery ini sudah dikenal sejak lama teknologinya. Tetapi sulit berkembang dari sisi teknologi. Karena sulitnya mencari material yang cocok untuk bahan katoda terutama dan anoda. Karena energi yang tersimpan bisa kecil, pemakaian terbatas untuk media penyimpanan sementara seperti untuk mesin dan robot. Secara konsep tidak berbeda dengan Li Ion baterei yang dipakai si Elon Musk. Sama sama pakai Lithium. Bedanya cari dan padat saja. Solid state battery memakai Li Ion dalam bentuk padat. Tidak perlu separator. Tidak berupa cairan yang bisa leaking atau mudah terbakar. Bahkan energi density nya bisa sampai 2.5 kali baterei Li ion cair. Permasalahannya yang jelas jauh lebih mahal. Kedua, secara teknologi belum ditemukan material yang cocok. Saya nggak yakin tersedia dalam waktu dekat. Secara proses mudah. Memakai proses thin film semikonduktor yang sudah ada. Cuman kalau kedepan trend solid state battery, maka impian jokowi dan luhut untuk nikel selesai. Ya nggak apa. Toh orangnya sudah turun nggak ada.
Komentator Spesialis
Toyota telah terperangkap dengan "comford zone". Benar ! Setidaknya menurut saya. Tetapi ada 2 alasan besar lain menurut analisa saya. Pertama, Toyota terbebani investasi besar mobil berteknologi BBM. Dari aset aset mesin sampai aset teknologi. Yang nilainya tidak kecil. Tentu sebisa mungkin selama mungkin dan sebanyak mungkin mereka ingin menjual mobil jenis ini agar investasi kembali. Mereka juga terbebani banyaknya vendor. Ingat Jepang menerapkan sistem "keiretsu". Akan banyak vendor mereka yang tewas. Contoh vendor pembuat knalpot atau radiator misalnya. Kita pernah analisa, ada sekitar 10 ribuan part yang akan hilang karena konversi mobil berbahan bakar BBM menjadi mobil listrik. Luar biasa !!! Bakal banyak perusahaan tutup dan PHK di sektor automotive. Kedua, Masih ingatkan pertarungan standar video VHS dan Betamax ? Mirip ini, Toyota sebenarnya sudah mengembangkan road map mobil hybrid dulu. Lalu berbahan bakar hydrogen. EV memang menjadi opsi. Tetapi bukan segera. Ibarat menyalip di tikungan, Tesla memberikan standar baru untuk roadmap mobil berteknologi EV. Kalahlah Toyota. Nasibnya bakal mirip Nokia dihajar BB. Atau BB dihajar Android. Teknologi EV akan merubah peta industri automotive dunia. Dari big 3, bakal menjadi small hundred. Karena akan dimungkinkan membuat mobil mirip kita bikin komputer jangkrik.
Juve Zhang
Tesla ini konon sedang buat cetakan mobil sekali cetak tanpa las dan sambungan. Tesla lagi lagi memutus "rantai makanan" sudah ngelas dan ngecat pake robot, malah ingin buat cetakan mobil sekali bahan material plat baja dll masuk cetakan keluar nya mobil langsung jadi rangkanya. Tinggal di cet. EM memang menyebutkan teknologi bukan menciptakan lapangan kerja. Terus insinyur lulusan PT pada nganggur lalu siapa yg beli Tesla? Wkwkkwkwk. Rantai makanan perlu dijaga bagaimana mau makan kalau pekerjaan makin habis. Anda masuk stasiun Kereta Api Bandung lihat karyawan makin habis di ganti beli Tiket Online. Bank bank makin banyak simpan ATM setor tarik cukup ATM. Terus nasabah ngisi saldo pake apa? Kan pake gajian .wkwkwkqk. ada sebuah pulau di Tiongkok sana semua bis dan taksi gak ada supirnya otomatis jalan saja. Lah kalau semua "rantai makanan" di pangkas akan dapat Gaji dari Mana ??. Elon Musk pemotong rantai makanan paling sadis di otomotif. Sekarang Twitter nya di tantang THREADS nya Mark Zuckerberg dan EM marah sama MZ akibat "cawe cawe" ke Twitter. Memang cocok kalau mereka sekarang berlatih MMA buat tarung di MMA konon lokasi tarung di tempat Bruce Lee dan Chuck Norris tarung Roma Italia. Pertarungan Akbar MMA dua Titan technology. Selamat bertarung.
Komentator Spesialis
Mungkin ada yang salah disini. Baterei Li ion vs Baterei Solid state. Lebih tetapnya baterei Li ion cair vs Baterei Lithiun solid state. Saya belum pernah dengar ada jenis baterei solid state yang nggak pakai Lithium. Minimal kemampuannya sama seperti Lithium. Jadi bukan berarti kalau solid state nggak pakai Lithium.
Komentator Spesialis
Ricky Elson itu junior saya. Terakhir saya ketemu 12 tahunan lalu mungkin. Saya lupa. Dia pernah kerja lama di Nidec. Keahliannya motor. Maker motor di Jepang ada banyak. Nidec ini ekspansi melalui M&A terlalu aggresive. Termasuk ke motor untuk EV. Ternyata sedikit yang mengadopsi motor NIDEC untuk EV. Sekarang kelimpungan sendiri mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber:
Komentar: 179
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google