Pendidikan Berkualitas Tanpa Kekerasan Melalui Permendikbudristek PPKSP
ebinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB), dengan tema “Pendidikan Berkualitas Tanpa Kekerasan melalui Permendikbudristek PPKSP”, Kamis 24 Agustus 2023. --
Dalam webinar tersebut hadir pula tiga narasumber lain yakni Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI); Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psikolog Anak dan Remaja; dan Abdul Rahmat, Guru Sosok Inspiratif 2023, SDN 011 Balikpapan Tengah.
Sejalan dengan pemaparan Praptono, Retno Listyarti menyampaikan kekhawatirannya terhadap fenomena kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Ia mengatakan, dalam catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), pada tahun 2023 terhitung Januari hingga Juli, kekerasan perundungan mencapai angka 25, yang jika dirata-ratakan berarti setiap minggu terjadi kekerasan.
“Belum lagi kekerasan seksual yang mencapai angka lebih tinggi, juga kasus-kasus kekerasan lain yang tidak terhitung jumlahnya karena banyak pula pihak yang tidak melapor. Jika dibiarkan, hal ini sangat berbahaya karena akan mengganggu tumbuh kembang anak, baik itu anak sebagai korban, saksi, atau pun pelaku kekerasan,” ungkapnya.
Dari sisi psikologi, Vera menyampaikan tentang dampak dari kekerasan. Ia mengatakan, kekerasan dalam satuan pendidikan melibatkan tiga peran, yakni pelaku, korban, dan saksi.
Namun dampak kekerasan yang sering dibahas hanya pada sisi korbannya, padahal sebenarnya dua pihak lain juga terkena dampak yang serius.
Dari sisi korban, karena tidak bisa melawan dan kekerasan terjadi terus- menerus, maka akan timbul rasa tidak berdaya, tidak berharga, dan tidak percaya lagi kepada orang lain karena tidak ada yang bisa membantunya. Hal itu pun akhirnya mengganggu proses belajar sehingga prestasinya menurun.
Lalu, jika berlarut-larut, kekerasan pun akan menimbulkan rasa stress bahkan depresi. Lebih berbahaya lagi adalah ketika korban merasa kekerasan adalah hal yang wajar dilakukan, sehingga di kemudian hari ia bisa berubah menjadi pelaku kekerasan.
“Jika hal ini tidak tertangani dengan baik, maka keluarga korban pun akan terpengaruh, yakni merasa sekolah tidak dapat dipercaya. Dari sisi pelaku, jika ia dibiarkan, maka ia akan menganggap kekerasan sebagai media untuk mendapatkan hal yang ia mau, untuk mendapatkan pengaruh, untuk dapat mengontrol lingkungan, dan sebagainya."
"Hal itu akan terbawa sampai ia dewasa, dan dapat menjurus ke kriminalitas. Lalu, saksi juga dapat mengalami dampak, yakni trauma karena melihat kekerasan; merasa takut dan cemas; menjadi pelaku jika tidak ada tindakan; atau bahkan menjadi apatis jika laporannya tidak ditanggapi,” tambah Vera.
Menanggapi pentingnya pencegahan dan penanggulangan terhadap kekerasan, Retno dan Vera pun menyampaikan harapan dan apresiasinya terhadap Permendikbudristek PPKSP.
“Kami sangat mengapresiasi Permendikbudristek PPKSP ini karena mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan secara lebih jelas, lengkap dan menyeluruh,” ucap Retno.
Sejalan dengan hal itu, Vera pun menyampaikan pandangannya terhadap Permendikbudristek PPKSP. Menurutnya, dari sisi psikologis, permendikbudristek ini lebih komprehensif, lebih luas cakupannya, dan lebih mendetail sehingga tidak hanya melindungi korban, melainkan semua pihak terkait termasuk saksi dan pelaku.
Dalam permendikbudristek ini saksi pun diperhatikan karena memiliki posisi yang signifikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan.
“Dalam hal ini terdapat pembahasan mendetail tentang perlindungan bagi mereka, cara melapor, hingga cara penanganannya. Selain itu, peraturan ini juga membahas penanganan terhadap pelaku. Jika selama ini pelaku dikeluarkan dari sekolah dan tidak diperhatikan masa depannya, namun melalui peraturan ini, pelaku yang mungkin juga masih anak-anak/siswa pun tidak kehilangan hak pendidikannya, sehingga kita tidak menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru,” ujar Vera.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: