Satu Dekade Intoleransi Ekonomi Tidak Berubah, NU Termarginalkan

Satu Dekade Intoleransi Ekonomi Tidak Berubah, NU Termarginalkan

KH Imam Jazuli Lc--

MASIH segar dalam ingatan, kasus perlawanan rakyat kecil terhadap aparat kekerasan negara, gabung TNI, Polri, Satpol PP yang menjadi benteng kepentingan oligarki.

Apalah arti janji-janji manis BP Batam kepada mereka yang tercerabut dari tanah kelahirannya, dari struktur kebudayaan lokalnya. Biaya yang para oligarki keluarkan tidak ada apa-apanya dibanding kekayaan mereka, 82% dari total ekonomi nasional.

Penting kiranya menseriusi pandangan Kiai Miftachul Akhyar, Rais Amm PBNU, karena informasinya berasal dari sumber primer, seperti kesaksian Jusuf Kalla akan adanya satu orang yang menguasai 51% ekonomi nasional.

Dengan kata lain, bangsa Indonesia masih hidup di era orde baru, belum beranjak apalagi memasuki era reformasi. Betul yang dibicarakan banyak pakar kita bahwa Indonesia mungkin hanya keluar dari orde baru dan belum melangkah keluar dari halaman rumah orba.

BACA JUGA:Rapor Putih dan Merah Pidato Rais Am PBNU Kiai Miftachul Akhyar

BACA JUGA:Memahami Makna Politik Identitas, Meluruskan Gus Yaqut

Perhatikan bagaimana pemberantasan terhadap demonstran Pulau Rempang yang serasi dengan cara-cara kerja rezim militer. Rakyat seakan musuh dan kebebasan berekspresi diberangus. Rakyat Rempang yang berupaya mempertahankan tanah tumpah darahnya diperlakukan mirip dengan pemberontakan terhadap kedaulatan negara.

Rasa kemanusiaan, rasa keadilan, dan kebebasan tidak ada artinya di mata pemerintah. Mereka memilih menerapkan kebijakan militeristik daripada persuasif. Tidak ada negosiasi, yang ada hanya pelanggaran hak asasi manusia.

Pelanggaran HAM, menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mahfud MD, tidak terjadi pada era pemerintahan presiden Joko Widodo. Seandainya kekerasan negara bukan bentuk pelanggaran HAM, maka tindakan pihak kekerasan negara yang membela kepentingan segelintir orang, para investor, bukan kepentingan rakyat Pulau Rempang, adalah intoleransi ekonomi.

Jika pun pihak pemerintah enggan disebut melanggar HAM di Pulau Rempang, maka satu-satunya label yang tersisa dan pantas adalah praktek intoleransi ekonomi. Demi kepentingan mendirikan kota para nelayan yang konon akan dijadikan percontohan di Indonesia, kepentingan rakyat dikorbankan harus dikorbankan di bawah moncong senjata militer.

Politik Perubahan Sebuah Keniscayaan

Demi menghindari term pelanggaran HAM yang tidak dikehendaki Menkopolhukam tersebut, maka kita gunakan istilah "intoleransi ekonomi" untuk kasus kekerasan Pulau Rempang di era rezim Jokowi ini. Maka penting seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu padu melawan intoleransi ekonomi.

Hemat penulis, persatuan seluruh rakyat Indonesia memiliki landasan ideologis yang kuat, sebagaimana telah dikatakan oleh Kiai Miftachul Akhyar, bahwa apabila warga NU kaya raya maka akan menimbulkan bahaya bagi para oligarki yang menguasai 82% ekonomi nasional. Ini sepenuhnya benar.

Satu-satunya cara membela rakyat yang tertindas oleh kepentingan oligarki dan mengakhiri era intoleransi ekonomi adalah dengan memberdayakan ekonomi waga NU. Karena hampir seluruh korban intoleransi ekonomi adalah warga NU itu sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: