bannerdiswayaward

Gojlokan atau Roasting bagian dari Penyedap Canda yang Mentradisi di Lingkungan Nahdliyin

Gojlokan atau Roasting bagian dari Penyedap Canda yang Mentradisi di Lingkungan Nahdliyin

KH Imam Jazuli, anggota Presidium Penyelamat Organisasi dan MLB NU.-Dokumentasi Pribadi-

Gus Miftah mengaku dirinya bukan termasuk orang yang berpendidikan tinggi. Ia lahir dari jalanan, bergaul dengan anak-anak jalanan, berteman dengan para preman, dan berdakwah pula di kalangan manusia-manusia yang termarjinalkan atau “dinajiskan” oleh sosial seperti klub malam.

Gus Miftah sudah terbiasa dengan lingkungan-lingkungan yang dinomorduakan oleh masyarakat itu, tetapi terbukti berhasil sedikit demi sedikit mengajar orang-orang terpinggirkan itu ke jalan Allah.

Karakter Gus Miftah yang bertahun-tahun tumbuh di lingkungan pergaulan yang gelap itu tiba-tiba diuji di lingkungan yang disebut “terang”.

Ia dipercaya oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mengabdi kepada bangsa, negara dan umat dengan cara yang lebih luas dan efektif. Presiden memberikannya kekuasaan dan kewenangan untuk bertugas dan bertanggung jawab sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP).

Dalam waktu yang sangat singkat kurang lebih dua bulan, Gus Miftah belum sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan para pejabat publik. Terjadilah peristiwa antara Gus Miftah dan Sonhaji, seorang pedagang es teh asongan itu.

Publik tidak bisa sepenuhnya menerima karakter personal Gus Miftah. Akhirnya, banyak bermunculan potongan-potongan ceramah Gus Miftah lainnya yang senada dengan peristiwa Sonhaji.

BACA JUGA:Urgensi Ukhuwah Islamiah dan Wathaniyah, Dulu dan Sekarang

Tempatkan Sesuatu Pada Tempatnya

Sebuah pepatah mengatakan orang zalim adalah orang yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kita sebagai sebuah bangsa tidak ingin menjadi orang yang zalim, menempatkan suatu perkara pada bukan tempatnya.

Gus Miftah harus ditempatkan pada tempatnya, sebagai pribadi yang terbiasa dengan gojlokan atau roasting, baik sebagai bagian dari warga NU maupun sebagai orang yang dilahirkan oleh jalanan dengan lingkungan masyarakat termarjinalkan.

Sebaliknya, membayangkan Gus Miftah seperti pejabat publik lain yang pandai bersilat lidah di depan kamera tetapi berperilaku korup di balik meja adalah perbuatan yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Membayangkan Gus Miftah seperti penceramah agama lain yang pandai bertutur kata lembut juga bukan menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Mungkin satu-satunya kesalahan Gus Miftah adalah tidak bisa memanfaatkan waktu yang sangat singkat, sekitar dua bulan sejak pelantikannya sebagai UKP, untuk menyadari bahwa tugas dan tanggung jawabnya sudah berubah.

Ia bukan lagi milik masyarakat yang termarjinalkan selama ini melainkan milik seluruh rakyat Indonesia dengan karakter dan kepentingan yang beragam.

Untuk itulah, ini menjadi pelajaran penting bagi Gus Miftah maupun seluruh warga Nahdliyyin yang diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia yang majemuk. Ruang publik sudah seharusnya betul-betul dibersihkan dari kata-kata sarkas dan diisi dengan kata-kata santun.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads