Gojlokan atau Roasting bagian dari Penyedap Canda yang Mentradisi di Lingkungan Nahdliyin

Gojlokan atau Roasting bagian dari Penyedap Canda yang Mentradisi di Lingkungan Nahdliyin

KH Imam Jazuli-Dokumentasi Pribadi-

BANGSA Indonesia ditakdirkan memiliki adat dan budaya yang beragam. Sudah selayaknya untuk saling mengenali dan belajar satu sama lain. Salah satunya roasting yang sudah mentradisi di lingkungan warga Nahdliyin, yang tidak semua orang memilikinya.

Itu alasan gojlokan Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah menjadi viral, karena tidak setiap orang bisa menerima.

Suatu hari pernah Ketua Umum NU menyebut beberapa ulama sebagai sekumpulan pengangguran. Pernyataan semacam ini jika dipahami secara literlek maka akan berujung pada penistaan harga diri.

BACA JUGA:Memahami Dengan Sederhana Konsep Ukhuwah Islamiyah

Bagaimana mungkin para kiai dan alim ulama yang memiliki pondok pesantren dengan ribuan santri disebut orang-orang tak punya kerjaan. Tetapi pasti maksudnya tidak seperti yang tersurat.

Mantan Ketua Umum NU Romo Kyai Said Aqil Siradj pernah mengatakan, semakin panjang jenggot seseorang semakin goblok. Jika lagi-lagi diartikan secara literlek maka pernyataan ini sudah lintas kelompok.

Orang-orang non-Nahdliyyin pasti akan menilai tokoh-tokoh besar di lingkungan NU terbiasa dengan kata-kata sarkas, baik di internal mereka sendiri maupun terhadap kelompok lain.

Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha mencoba menjelaskan posisi pintar dan goblok dengan cara proporsional. Mengaku pintar dan goblok sama pentingnya, selama memiliki alasan yang dibenarkan.

Mengaku pintar berarti sedang ingin menghargai jasa-jasa guru yang telah mengajar. Mengaku bodoh berarti sedang ingin tawadhu’ dan tidak menyombongkan diri.

Dalam kesempatan lain Gus Baha menjelaskan Allah tidak butuh orang-orang pintar, dan kepintaran manusia tidak menguntungkan Allah. Sebaliknya Allah butuh mental ubudiah alias jiwa pengabdian manusia.

BACA JUGA:Kesatria dari Jogja, Langkah Penting Gus Miftah Membangun Bangsa

Dengan kata lain, menjadi bodoh sekali atau goblok selama disertai hati yang tulus nan ikhlas adalah jauh lebih penting di hadapan Allah daripada orang pintar berwawasan luas namun pamrih.

Penjelasan Gus Baha tersebut bisa dipahami dalam konteks yang lebih luas. Bukan hanya Tuhan yang membutuhkan mental ubudiah hamba, bangsa dan negara juga demikian.

Indonesia tidak kekurangan orang-orang pintar dan berwawasan luas, namun jiwa pengabdian mereka kepada negara sangat rapuh. Korupsi merajalela dari tingkat pusat hingga daerah, semuanya dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads