Desember Pedas: Rutinitas Musiman dan Alarm Tata Kelola Rantai Pasok Cabai
Ilustrasi tanaman cabai-Dokumentasi UB-
UJUNG akhir tahun 2025, sajian fenomena dan pola klasik kembali terulang. Harga cabai merangkak naik, menjadi topik nasional dari dapur rumah tangga hingga rapat pebahasan pengendalian inflasi. Fenomena ini dianggap rutinitas musiman dan akan mereda ketika musim panen berikutnya tiba. Padahal, fluktuasi Harga cabai yang tidak konsisten adalah penanda bahwa tata kelola pasokan hortikultura kita masih rapuh, sensitif terhadap perubahan iklim, jalur distribusi yang mudah tersendat, dan rentan guncangan di level produksi.
Snapshot 3 Bulan Terakhir: Kenaikan Harga Terasa, Bukan Ilusi.
Data pantauan harga BPS menunjukkan pada pekan pertama September 2025, rerata harga cabai merah berada di kisaran Rp46.142/kg. Memasuki pekan pertama Oktober 2025, rata-rata harga cabai merah tercatat naik menjadi Rp56.385/kg, kontraksi harga sudah melewati rentang Harga Acuan Penjualan (HAP) konsumen cabai merah yaitu Rp55.000/kg. Kemudian pada 11 Desember 2025, harga cabai merah keriting tercatat Rp63.500/kg (naik harian sekitar 1,24%). Artinya, dari awal September ke awal Oktober terjadi lonjakan sekitar 22,2%, dan berlanjut naik hingga Desember (tambahan sekitar 12,6% dari awal Oktober). Secara keseluruhan level harga Desember ini sekitar 37,6% lebih tinggi dibanding awal September. Kenaikan harga tersebut juga tercermin dalam dinamika inflasi. BPS mencatat cabai merah termasuk komoditas yang dominan memberi andil inflasi pada September 2025 dan November 2025. Dengan kata lain, cabai bukan sekadar bumbu dalam statistik namun juga menjadi pemantik persepsi mahal di masyarakat.
Permintaan Stabil: Masalah Utama ada di Pasokan dan Distribusi
Badan Pangan Nasional memperkirakan kebutuhan konsumsi cabai nasional berada di kisaran 76–78 ribu ton per bulan. Angka ini penting, permintaan cabai tidak melonjak ekstrem dari bulan ke bulan. Namun yang sering berubah justru ketersediaan pasokan di lapangan, seiring perubahan cuaca, serangan organisme pengganggu tanaman, dan arus distribusi antar daerah. Di sisi produksi, Bapanas mencatat pada November 2025 produksi cabai besar sekitar 73.198 ton dan cabai rawit sekitar 78.148 ton. Pada Desember 2025, proyeksi produksi cabai besar 77.820 ton dan cabai rawit 80.361 ton. Jika kebutuhan konsumsi berada di rentang 76–78 ribu ton/bulan, maka cabai besar pada November berada di bawah kebutuhan, sedangkan cabai rawit relatif rentan dan sangat mudah defisit bila ada gangguan panen atau distribusi. Kondisi labil seperti ini membuat pasar cabai cepat merespons dengan kenaikan harga bahkan ketika defisitnya tidak besar.
Problematika harga cabai terus menanjak diantaranya karena Pertama, cabai adalah komoditas sangat mudah rusak dengan biaya risiko (susut, busuk akibat keterlambatan distribusi) tinggi dan cepat diterjemahkan menjadi harga. Kedua, pasokan cabai tersebar ke banyak daerah dan bergantung pada sentra produksi tertentu. Ketika sentra cabai terganggu karena perubahan cuaca ekstrim (hujan, banjir, atau organisme pengganggu tanaman) maka suplai nasional akan mengalami turbulensi. Ketiga, mata rantai distribusi masih rawan. Informasi ketersediaan stok tidak selalu real time, sehingga perpindahan barang antar daerah sering terlambat dan memicu panic buying di tingkat pedagang yang berdampak pada kenaikan harga.
Pada level produksi, komoditas cabai sangat bergantung pada budidaya lahan terbuka dan mudah mengalami penurunan hasil ketika terjadi anomali cuaca, terutama curah hujan tinggi yang memicu kelembapan berlebih, memperpanjang fase basah, dan meningkatkan risiko serangan organisme pengganggu tanaman. Kondisi ini tidak hanya menurunkan kuantitas panen, tetapi juga merusak mutu (ukuran, warna, dan tingkat busuk) sehingga persentase susut meningkat. Karena siklus tanam cabai relatif singkat, gangguan kecil pada fase pembungaan hingga pembesaran buah dapat langsung berujung pada defisit pasokan produk. Dengan demikian, penguatan tata kelola pasokan perlu disertai paket adaptasi budidaya yang praktis dan terukur, misalnya perbaikan drainase, mulsa, perlindungan hujan (rain shelter) pada periode kritis, serta penguatan Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu berbasis pemantauan lapang agar risiko produksi tidak terus diterjemahkan menjadi lonjakan harga.
BACA JUGA:Xpose Uncensored dan Pesantren dalam Perspektif Komunikasi dan Public Relations
Catatan penting yang perlu dilakukan agar siklus ini tidak berulang diantaranya adalah memperkuat lini informasi pasokan cabai berbasis data. Jika kebutuhan konsumsi sekitar 76–78 ribu ton/bulan, maka setiap indikasi penurunan produksi atau terhambatnya jalur distribusi harus terdeteksi lebih awal (mingguan), tidak setelah harga melonjak tinggi. Angka produksi - proyeksi dari Bapanas dapat menjadi acuan, selanjutnya yang dibutuhkan adalah respons tanggap operasional yang lebih cepat di lapangan. Memperbaiki konektivitas antar sentra cabai. Saling bertukar informasi terkait praktek budidaya, penguatan kelembagaan klaster, rantai logistik, konsolidasi distribusi, dan fasilitasi perdagangan antar daerah saat indikator defisit produk muncul. Cabai tidak butuh kebijakan rumit namun membutuhkan kecepatan penanganan terstruktur. Mendorong pola tanam bergilir antar sentra dengan insentif dan pendampingan. Permasalahan cabai sering terjadi bukan pada produksi tahunan, tetapi puncak panen yang menumpuk pada waktu bersamaan kemudian terjadi jeda pasokan cukup lama yang berakibat pada naiknya harga.
Lonjakan harga cabai beberapa bulan ini seharusnya tidak lagi diterima sebagai takdir musiman. Data menunjukkan permintaan bulanan cenderung stabil, sementara pasokan berada pada kondisi yang sangat rentan. Selama struktur ini tidak dibenahi, fenomena akan terus berulang, harga cabai naik, inflasi melejit, kemudian semua kembali normal sampai siklus berikutnya datang. (*)
*) Ketua Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya

Mochammad Syamsul Hadi -UB-
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: