Sejarah Tradisi Halalbihalal, Kisah KH Abdul Wahab Chasbullah dan Bung Karno

Sejarah Tradisi Halalbihalal, Kisah KH Abdul Wahab Chasbullah dan Bung Karno

Bung Karno saat mengaminkan doa KH Wahab Chasbullah. (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)--NU Online

JAKARTA, DISWAY.ID-Menengok kembali sejarah tradisi Halalbialal yang dimulai sejak zaman Presiden Soekarno.

Diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi, pada era revolusi tahun 1984, tepatnya di pertengahan bulan Ramadan, Bung Karno memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) ke Istana Negara.

KH Abdul Wahab Chasbullah dipanggil Presiden Soekarno untuk dimintai pendapat dan sarannya dengan harapan dapat mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu. 

Kemudian Kiai Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim. 

Sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim. Lalu Bung Karno menjawab, 

"Silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain". "Itu gampang,” kata Kiai Wahab, melansir Nu Online, Selasa 3 Mei 2022.

"Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halalbihalal,” jelas Farid Mas'udi menceritakan kembali bagaimana Kiai Wahab Chasbullah mengutarakan sarannya kepada Bung Karno.

Dari saran Kiai Wahab itulah kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi nama halal bihalal. 

Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi umat Islam Indonesia pasca-lebaran hingga kini. 

Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam konflik politik yang berpotensi memecah belah persatuan. 

Hingga secara filosofis pun, Kiai Wahab sampai memikirkan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah silaturahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa sehingga kemungkinan akan ditanggapi biasa juga oleh para tokoh yang sedang berkonflik tersebut. 

Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik menuntut pula para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang. 

Begitu pun dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada pula memberikan maaf sehingga maaf-memaafkan mewujudkan Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali pada jiwa yang suci tanpa noda bekas luka di hati.

Dengan demikian, bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: