Disarankan Rocky Gerung, Yusril Ihza Mahendra Siap Jika Ditunjuk Jadi Pelindung Hukumnya Jokowi
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra-Intan Afrida Rafni-
Secara antropologi, kata Rocky, politik di Indonesia berbasiskan dendam. Hal tersebut diawali ketika Ken Arok menjadi Raja, hingga fenomena antar Presiden di Indonesia.
Misalnya, kata dia, dijatuhkannya Presiden Gus Dur hingga inharmonisasi hubungan politik Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
BACA JUGA:Anies Baswedan Tegaskan Pemimpi Itu Harus Punya 'N', Apa Maksudnya?
Menurutnya, politik balas dendam ini bisa saja terjadi ketika Jokowi tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI. Bahkan serangan itu bisa jadi didapatkan dari presiden terpilih nantinya.
Termasuk, jika Anies Baswedan menjadi Presiden 2024-2019. Meski begitu, Rocky menyebut Jokowi tidak perlu terlalu khawatir ihwal hal tersebut selama memiliki perisai hukum.
“Perisainya apa? Ada perisai hukum, hingga culture tersedia. Tetapi perisai yang paling tangguh adalah batin presiden sendiri,” kata dia.
Masalahnya, ungkap Rocky, perisai batin Presiden Jokowi dianggap retak. Presiden SBY menurutnya lebih stabil karena memiliki kendaraan politik Partai Demokrat yang melindunginya.
“Anda bayangkan Jokowi, tidak punya partai. Kecemasan tiba-tiba hilang kekuasaan,” kata mantan dosen di Universitas Indonesia ini.
Menurut Rocky sosok yang bisa menjadi perisai hukum Jokowi adalah Yusril. Cara lain agarJokowi mendarat mulus di penghujung kepemimpinannya dengan mengubah Presidential Threshold menjadi nol persen.
“Seharusnya Pak Jokowi ajak Prof Yusril jadi calon presiden atau cawapres, karena Prof Yusril yang bisa menyelamatkan Pak Jokowi. Sebab gak ada orang lain yang tahu, Prof Yusril yang hanya bisa jadi tameng Presiden Jokowi dan yang paham seluk-beluk penyelamatan,” kelakar Rocky.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti juga mengamini kelihaian Yusril terhadap Presiden Soeharto. Ia bercerita Yusril merupakan pembuat teks pidato Soeharto ketika meninggalkan jabatannya.
Di pidato itu, Soeharto menyebut bukan mengundurkan diri sebagai Presiden, melainkan berhenti. Secara hukum, makna mengundurkan diri dan berhenti itu memiliki arti yang berbeda. Bivitri menyebut kejelian Yusril dalam memilih kata tersebut menjaga wibawa Soeharto kala itu.
“Pidato Soeharto itu bukan mengundurkan diri, tetapi berhenti. Itu yang bikinin Pak Yusril. Kalau mundur, artinya sudah tidak sanggup. Berhenti ya berhenti, karena tidak mendapatkan lagi mandat rakyat,” kata Bivitri
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: