Simpang Siur Kenaikan PPN 12 Persen Dimanfaatkan Oknum, Sosiolog UGM: Dampaknya ke Masyarakat Kecil
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Andreas Budi Widyanta menyebut kebijakan soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum-Istimewa-
JAKARTA, DISWAY.ID -- Sosiolog Universitas Gadjah Mada Andreas Budi Widyanta menyebut kebijakan soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum.
Di mana, kebijakan ini masih berlaku 1 Januari 2025 dan pemerintah saat ini masih menyusun teknis dan daftar rinci barang dan jasa yang terkena kenaikan.
BACA JUGA:Heboh Kenaikan PPN 12 Persen, Ternyata Amanat Undang-undang Sejak 2021: Bukan Kebijakan Baru!
BACA JUGA:Soal PPN 12 Persen, Maman Abdurrahman Pastikan Perlindungan UMKM
"Dalam posisi itu, banyak lembaga yang akhirnya menginterpretasikan PPN itu berlaku untuk apa saja. Itemnya sendiri kan dalam proses menggodokan, ya. Tetapi akhirnya orang sudah menerjemahkan sendiri," ungkap Widyanta kepada Disway, 17 Desember 2024 lalu.
Di tengah kesimpangsiuran ini, sejumlah pihak yang memiliki kepentingan memanfaatkan masa transisi tersebut dengan telah menaikkan PPN saat ini juga.
"Sudah banyak yang menaikan pajak-pajak itu sekarang padahal itu boleh jadi belum tentu terkena PPN nanti. Jadi ada moral hazard di masa-masa transisi seperti ini."
Akhirnya, aji mumpung orang-orang tersebut memanfaatkan ketidakpastian aturan sehingga menafsirkan sendiri item yang akan dikenai PPN dan menerapkannya.
BACA JUGA:Jenis dan Golongan Listrik PLN yang Terkena Tarif PPN 12 Persen per 1 Januari 2025
BACA JUGA:Pembayaran Qris Akan Dikenai Tarif PPN 12 Persen, Netizen Lempar Kritikan Keras
"Ada mumpungisme di situ karena memanfaatkan ketidakpastian aturan itu. Tafsir-tafsir atas bagaimana, item-item apa saja yang akan dikenai oleh PPN itu kan belum jelas. Tetapi orang sudah kemudian menerapkan itu untuk kepentingan mengambil manfaat keuntungannya sendiri," paparnya.
Kemudian juga apabila akhirnya tafsir mengenai item barang mewah yang dikenai kenaikan PPN tersebut ternyata merupakan hal fundamental, lanjutnya, hal ini sebagai bagian dari interpretasi yang belum selesai dari produk hukum.
"Kalau kemudian tafsir atas bagaimana barang-barang mewah itu sendiri ternyata berlaku untuk hal-hal yang sebetulnya malah fundamental, termasuk internet, termasuk apapun yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, itu artinya memang adalah bagian dari interpretasi yang belum selesai sebuah produk hukum yang sampai hari ini belum difinalisasi apa saja yang terkenai oleh PPN itu, akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Dan itu yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak orang, banyak pihak untuk mengambil keuntungan."
Hal ini lantas kembali menjadikan masyarakat sebagai korban karena belum jelas aturannya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: