Bermarwah Karena Umat, Lemah Karena Rais 'Aam

Bermarwah Karena Umat, Lemah Karena Rais 'Aam

KH Imam Jazuli--

PIDATO sambutan Rais ‘Amm PBNU KH. Miftachul Akhyar pada Harlah NU ke-102 memicu kontroversi. Potongan itu diantaranya, "Ada Bendum, Gus Gudhfan (Gudfan Arif Ghofur), saya titip Pak Presiden. Dia mendapat gelar oleh Ketua Umum sebagai bendahara yang biayaan. Mencari dana untuk kepentingan Nahdlatul Ulama, jadi biayaan! Berikan pintu kepada beliau, beserta kuncinya sekalian..."

Jika dicermati dengan seksama, banyak paradoks antara tujuan memperingati hari lahir organisasi besar NU untuk memperkuat langkah perjuangan dan mempromosikan secara pragmatis Bendahara Umum PBNU untuk mendapatkan perhatian khusus dari Presiden dan Wakil Presiden RI yang turut hadir.

Rais ‘Aam belum mengutip walau sekilas trilogi kebangsaan NU yang dirintis para muasis untuk mengatasi permasalahan bangsa dari visi besar Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri, terkhusus buat membidik kaum muda. Membuatkan wadah perjuangan yang disebut Nahdlatul Wathan pada 1916. Dua tahun kemudian, 1918, berdiri Nahdlatut Tujjar untukmemperkuat ketahanan ekonomi dan Tashwirul Afkar untukmerayakan kebebasan berpikir ilmiah.

BACA JUGA:Ini Alasan Presiden Tidak Boleh Menerima Mundurnya Gus Miftah

BACA JUGA:Hari Toleransi Dunia, Kerukunan Beragama dan Filosofi Negara Ideal

Kepemudaan, perekonomian dan keilmuan adalah trilogi kebangsaan yang digagas para muasis NU. Warga NU yang berjiwa muda, kuat secara ekonomi, dan berwawasan luas mulai membahas hubungan Islam dan nasionalisme pada tahun 1919. Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan HOS Tjokroaminoto secara intensif membincang nasional. Salah satu anggota diskusi itu adalah seorang pemuda intelek, Soekarno, yang baru berusia antara 18-19 tahun. Kelak Soekarno menjadi menantu Tjokroaminoto.

Di usia NU ke-102, trilogi kebangsaan warisan para muasis semakin rapuh. Cendikiawan NU bukannya melahirkan pemikiran kritis malah melayani kekuasaan. Mencoba segala cara untuk melegitimasi praktik eksploitasi alam yang mengancam masa depan bumi. Cendikiawan NU menukil dalil agama sana-sini untuk membenarkan praktik politik uang.

Lelang intelektualisme semacam itu bertali-temali dengan pudarnya semangat Nahdlatut Tujjar. Membangun kekuatan ekonomi dari bawah berbasis akar rumput tidak lagi dilirik. Sebaliknya, mengemis pada kekuasaan menjadi tren baru di lingkungan elite. Tidak mengherankan ketika berada di lingkaran kekuasaan, mereka tidak bisa lepas dari jebakan korupsi. Bahkan, salah satu dari mereka terpaksa dieksekusi KPK ke Lapas Sukamiskin.

Miris? tentu saja. Warga NU yang masih tulus dalam jalan perjuangan merasa malu tak mampu mengenang wajah-wajah para muasis. Apa yang hendak dikatakan kepada Hadratussyeikh, Mbah Wahab dan Mbah Bisri?  Siapa lagi yang akan percaya pada mereka yang menglalalkan suap dan politik uang, ikut menjadi bagian dari eksploitator alam, tanpa punya perasaan apapun akan nasib buruk rakyat kecil. Siapa yang akan peduli kepada mereka yang mengemis pada penguasa terang-terangan di muka publik?

BACA JUGA:Refleksi Kebenaran dalam Bayang-Bayang Narasi Sesat

BACA JUGA:Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Peringatan hari lahir ke-102 bukannya menguatkan tekad perjuangan, malah berubah pasar tanpa marwah, tanpa wibawa, tanpa muka, yang semakin mempersulit menjalankan misi menjaga moral dan amar ma'ruf nahi mungkar. Harlah kali ini tidak lebih dari sekedar seremonial tanpa jiwa. Seandainya ucapan Rais ‘Aam disampaikan ke internal, ke jamaah Nahdliyyin yang Aghniya’, tentu masih relevan. 

Apa yang tersisa dari NU hari ini adalah memori tanpa ingatan, bagaimana Mbah Hasyim mendidik di bidang dakwah, ekonomi, pendidikan, militer, agar warga NU berkontribusi pada bangsa, untuk memerdekakan negara dari cengkraman kolonial.  Sementara  pemandangan hari ini tak lebih dari sekedar menjilat untuk mendapat jatah kekuasaan. Memang sudah salah jalan sejak awal ketika menghentikan prinsip ta’awun, tolong menolong, di antara jemaah. Sehingga mengemis pada kekuasaan menjadi alam bawah sadar yang tak terelakkan.

Dampak terburuknya adalah perubahan tren yang mengarah pada pembusukan budaya. Dulu NU menjadi tangan di atas yang memberi pelayanan kepada Mustad'afin. Sekarang tak lebih dari bagian kelompok Mustad'afin. Dari sini bisa dipahami mengapa NU kurang kritis dan ragu-ragu dalam kasus pagar laut, sementara ormas lain seperti Muhammadiyah dan MUI dengan tegas melawan sejak awal. Oleh karenanya, tidak perlu berbangga NU menjadi ormas terbesar, karena itu lahir dari kerelaan dan ketulusan jemaah. NU menjadi layu akibat perilaku pemimpinnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads