bannerdiswayaward

Soroti Ketimpangan Pengawasan Konten, KPI Minta Perlakuan Setara untuk Tayangan Seksual dan Kekerasan

Soroti Ketimpangan Pengawasan Konten, KPI Minta Perlakuan Setara untuk Tayangan Seksual dan Kekerasan

Soroti Ketimpangan Pengawasan Konten, KPI Minta Perlakuan Setara untuk Tayangan Seksual dan Kekerasan-Istimewa-

JAKARTA, DISWAY.ID-- Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mohamad Reza, menegaskan pentingnya perlakuan yang setara (equal treatment) dalam pengawasan antara konten media penyiaran konvensional dan konten digital.

Reza mengungkap sejumlah kasus yang menunjukkan masih lemahnya pengawasan konten digital, terutama yang berkaitan dengan kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan LGBT.

BACA JUGA:Geger Istri Digorok Suami di Ciputat, Sempat Terdengar Suara Ribut dan Tangisan

BACA JUGA:SELAMAT! Yakin Lolos PPKB UI, Ini Cara Cek Nama Kamu di penerimaan.ui.ac.id

“Kami sering menerima pengaduan masyarakat soal konten kekerasan seksual, LGBT, hingga tayangan bermuatan tidak pantas di media digital. Tapi hingga kini, pengawasan konten digital belum setara dengan lembaga penyiaran,” Selasa 17 Juni 2025.

Ia mencontohkan bagaimana KPI pernah menjatuhkan 43 sanksi terhadap program siaran jurnalistik pada 2021, termasuk satu kasus pemberitaan penggerebekan kantor pinjaman online (pinjol) yang tak sengaja menampilkan situs porno di layar komputer saat liputan ditayangkan.

BACA JUGA:Pemerintah Putuskan 4 Pulau yang Bersengketa Masuk ke Wilayah Aceh

BACA JUGA:Pramono Ungkap Jakarta Punya Harta Karun 55 Juta Ton Sampah untuk PLTSA

Reza juga menyinggung kasus di Jawa Timur, saat salah satu stasiun TV menayangkan visual pondok pesantren yang tidak terkait dengan pelaku kekerasan seksual, sehingga menimbulkan kepanikan di kalangan orang tua santri.

“Gambar yang hanya muncul 5-6 detik, tapi dampaknya luar biasa. Padahal pesantrennya tak ada kaitan dengan kasus tersebut,” tuturnya seraya menegaskan bahwa pengawasan yang dilakukan KPI selama ini sudah berjalan sesuai mandat, termasuk mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang berlandaskan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Namun, persoalan muncul ketika konten-konten serupa beredar di platform digital tanpa pengawasan yang memadai.

Dalam kasus yang melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Reza menceritakan bagaimana identitas aparat penegak hukum sempat terekspos di media sosial, hingga berpotensi membahayakan keselamatan mereka.

BACA JUGA:MR.D.I.Y. Gencarkan Kampanye 'Inspirasi Buat yang Ada Aja Idenya', Ini Tujuannya!

BACA JUGA:Kisah Para Bunda Menemani Anak Tumbuh Berprestasi di Kampanye Your Choice, Their Future

“Kami sudah sering menyampaikan ke kementerian terkait. Tapi di lapangan, masyarakat tetap datang mengadu ke KPI, karena tidak tahu harus ke mana lagi,” ucapnya.

Kurangnya Regulasi Tegas

Lebih lanjut, Reza menyoroti kurangnya regulasi tegas dalam Undang-Undang (UU) Telekomunikasi dan perlunya revisi dalam RUU Penyiaran yang mampu menjawab tantangan konten digital.

Ia bahkan menyebut pentingnya memperjelas batasan moral dan kesusilaan dalam tayangan, sebagaimana selama ini telah diatur di sektor penyiaran.

“Kalau di lembaga penyiaran, tidak boleh menayangkan bagian tubuh tertentu secara close up yang berbau seksual. Tapi bagaimana dengan di platform digital? Harus ada aturan main yang sama,” tegasnya.

BACA JUGA:Jadwal Bioskop Trans TV Hari Ini 17 Juni 2025 Lengkap Sinopsis, Tonton Film Aksi Gratis di Rumah!

BACA JUGA:Kata Polisi Soal Pesawat Saudia Airlines Berpenumpang Jemaah Haji yang Mendarat Darurat di Kualanamu Usai Diancam Bom

Reza pun berharap RUU Penyiaran yang baru mampu menjembatani kesenjangan pengawasan antara penyiaran dan media digital.

Menurutnya, tanpa regulasi yang adil dan proporsional, masyarakat akan terus menjadi korban konten yang tidak etis atau berbahaya

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads