bannerdiswayaward

Ada Apa di Balik Pemecatan Sepihak Pengurus Serikat di PT YMMA?

Ada Apa di Balik Pemecatan Sepihak Pengurus Serikat di PT YMMA?

Noor Azhari, Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI).-Istimewa-

JAKARTA, DISWAY.ID - Oleh: Noor Azhari, Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI).

Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Ketua dan Sekretaris Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja (PUK SP FSPMI) di PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) telah memicu gelombang kecaman. Bukan tanpa alasan. 

BACA JUGA:Asphija Menjerit Pajak Hiburan Malam Selangit, Badai PHK Menghantui

Tindakan ini dinilai tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, tetapi juga sarat dugaan praktik union busting dan pelemahan demokrasi industrial di Indonesia.

Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan No. 98 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama. Kedua konvensi itu menjamin perlindungan terhadap pengurus dan anggota serikat dari tindakan diskriminatif perusahaan. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan gejala sebaliknya.

Melanggar Prosedur Hukum

Pemecatan terhadap dua pengurus serikat tersebut dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Hubungan Industrial, sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003. Bahkan, menurut informasi yang beredar, keduanya sedang menjalankan fungsinya sebagai pengurus serikat dan memperjuangkan hak-hak normatif pekerja saat pemecatan terjadi.

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diatur bahwa PHK harus didahului oleh proses bipartit dan/atau mediasi tripartit jika terjadi perselisihan. Tidak dapat serta-merta dilakukan, apalagi terhadap pengurus serikat aktif. Pelanggaran terhadap prinsip ini berpotensi memicu kriminalisasi hubungan industrial.

Abaikan Arahan Pemerintah, Timbulkan Tanda Tanya

Lebih mengherankan lagi, PT YMMA tetap bersikukuh mempertahankan pemecatan meskipun telah mendapat arahan dari Bupati Bekasi, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, hingga Kementerian Ketenagakerjaan agar menyelesaikan perselisihan secara dialogis. 

BACA JUGA:Angka PHK Terus Melonjak di Pertengahan 2025, BPJS Ketenagakerjaan Ungkap Data Mengejutkan

Ketidakpatuhan terhadap imbauan lembaga resmi ini tentu memunculkan tanda tanya besar: Ada kekuatan apa di balik keras kepala perusahaan?.

Ketika perusahaan asing mulai mengabaikan kedaulatan hukum dan lembaga negara, publik berhak untuk curiga bahwa ada konspirasi sistemik yang tengah berlangsung. Apalagi ketika tindakan itu berdampak langsung terhadap eksistensi serikat pekerja yang sah secara hukum.

Kerugian Rp50 Miliar: Alasan atau Justifikasi?

Pihak perusahaan dikabarkan menyebut potensi kerugian sebesar Rp50 miliar akibat aksi mogok dan tekanan serikat pekerja. Klaim ini menjadi dasar pemecatan dua pengurus utama. Namun, tanpa audit independen atau pembuktian konkret, angka tersebut rawan digunakan sebagai justifikasi sepihak untuk menekan organisasi pekerja.

Secara hukum, kerugian materiel harus dibuktikan secara objektif, proporsional, dan kausal. Jika tidak, klaim semacam ini justru terkesan sebagai upaya untuk mengalihkan isu dari substansi perjuangan buruh ke ranah yang menyudutkan mereka secara sepihak.

Ancaman Bagi Demokrasi Industrial

Dari kacamata teori hubungan industrial, tindakan seperti ini mengancam demokrasi tempat kerja. Buruh tidak hanya kehilangan perlindungan hukum, tapi juga kehilangan ruang representasi kolektif. Jika pengurus serikat bisa diberhentikan tanpa alasan sah, maka pesan yang disampaikan ke pekerja lain jelas: berdiam diri lebih aman daripada bersuara.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads