bannerdiswayaward

KESEHATAN MENTAL BANGSA

KESEHATAN MENTAL BANGSA

Ace Hasan Syadzily (Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional/Lemhannas RI --

Lebih jauh, WHO mengungkapkan, beban penyakit mental di negara berkembang meningkat tajam dalam satu dekade terakhir dan menjadi salah satu penyebab utama disabilitas dan penurunan kualitas hidup.

Di balik angka itu ada cerita tentang kepala keluarga yang kehilangan harapan, remaja yang merasa sendirian meski ramai di media sosial, hingga tenaga kerja yang pelan-pelan habis terbakar (burnout) di kantor.

Saat terjadi pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu, kita belajar mengalami semacam “stres uji massal”. 

BACA JUGA:Gelombang Suksesi: Mencari Talenta yang Tepat untuk Mencapai Keberlanjutan

BACA JUGA:Tiga Kelebihan Bauran BBM dengan Etanol

Dimana tekanan ekonomi, rasa takut tertular, kehilangan orang terdekat, pembatasan sosial yang memutus ruang interaksi, membuat masalah kesehatan mental mengemuka dengan wajah yang lebih telanjang.

Sehingga gangguan kecemasan, stres akut, dan depresi bukan lagi cerita di buku teks, melainkan pengalaman banyak keluarga.

Di sisi lain, kita menyaksikan menguatnya fenomena self-harm di kalangan remaja, penyalahgunaan zat, hingga perilaku ekstrem yang kerap berakar pada frustrasi sosial dan tekanan mental yang tidak tertangani dengan sehat.

Di dunia kerja, gejala burnout menggerogoti produktivitas dan loyalitas SDM, baik di sektor publik maupun swasta (Maslach & Leiter, 2016).

Fakta-fakta ini kemudian, seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak. Bahwa kesehatan mental bukan lagi isu pribadi yang bisa diserahkan pada “urusan masing-masing”.

Ia kini menjadi isu publik, isu sosial, bahkan isu strategis bangsa. Ketika kesehatan mental terganggu secara luas, maka fondasi ketahanan nasional ikut rapuh. 

BACA JUGA:Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia

BACA JUGA:Memperkuat Ketahanan Komunitas

Kondisi ini menegaskan situasi saat ini yang terus  bergerak dengan kecepatan yang sering kali melampaui kemampuan nalar biasa. Istilah VUCA (volatile, uncertain, complex, ambiguous) untuk menggambarkan situasi yang serba tidak stabil dan sulit diprediksi. 

Bahkan sudah mengarah pada ke fase baru, yang disebut para analis sebagai era BANI (brittle, anxious, non-linear, incomprehensible) yakni dunia yang rapuh, cemas, tidak linier, dan kerap sulit dipahami.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads