Indonesia, Rumah Baru Islam Dunia: Cerita dari Kampus UIII
Prof. Jamhari Makruf, Ph.D. - Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia –-dok disway-
Arus keilmuan Islam berhenti di India—belum sempat menyeberang ke Asia Tenggara.
Maka ketika Islam datang ke Nusantara lewat jaringan perdagangan abad ke-13, ia datang di masa kemunduran, bukan masa keemasan peradaban.
Lihatlah: Al-Khawarizmi, bapak aljabar, lahir di Khiva; Imam Bukhari wafat di Bukhara; Ibn Sina dimakamkan di Persia; Imam Syafi‘i di Kairo.
Semua berasal dari wilayah yang dahulu jadi pusat sains dan agama.
Sementara di Nusantara, kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai, Demak, dan Mataram berkembang dengan corak lokal, tapi tidak melahirkan nama-nama ilmuwan yang dikenal dunia.
BACA JUGA:Saatnya yang Muda Kembali Memimpin PBNU
BACA JUGA:Dua Figur Besar Layak Menjadi Rais Aam PBNU Periode Mendatang.
Tokoh seperti Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdul Samad al-Palimbani, Syaikh Arsyad al-Banjari, hingga Nawawi al-Bantani berperan penting di kawasan, namun bagi dunia Islam internasional mereka lebih dilihat sebagai penerus wacana Timur Tengah.
Hanya belakangan muncul figur-figur seperti Buya Hamka, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Quraish Shihab yang mulai dibicarakan di kampus-kampus dunia.
Masalah lain—menurut Reid—adalah bahasa. Asia Tenggara tidak memakai bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi akademik. Maka karya para ulama Nusantara sulit menembus ruang diskursus keislaman global.
Mengapa Belajar Islam di Indonesia?
Indonesia baru dikenal di luar negeri karena jumlah umatnya.
Masjid terbesar, jamaah haji terbanyak, busana muslim, madrasah, dan perayaan Idul Fitri termegah—semuanya ada di sini.
BACA JUGA:Merebut Panggung Internasional: UIII, Intelektual Muslim Indonesia dan Masa Depan Pendidikan Islam
BACA JUGA:Mencari Kandidat Ketua Umum PBNU Selanjutnya
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
