Simalakama UMP 2026: Buruh Ngotot Naik 6 Persen Lebih, Pemerintah Tak Kunjung Beri Kepastian

Simalakama UMP 2026: Buruh Ngotot Naik 6 Persen Lebih, Pemerintah Tak Kunjung Beri Kepastian

ILUSTRASI - Upah Minimum Provinsi 2026 tak kunjung diumumkan meski gejolak pekerja untuk mendapat upah layak terus disuarakan-istockphoto-

Angka kenaikan upah yang dinilai minimalis dan tidak signifikan disebut-sebut tidak mencerminkan angka pertumbuhan ekonomi nasional yang berhasil mencapai target 5 persen.

Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana sisa pertumbuhan ekonomi tersebut menguap, dan seberapa besar dampaknya benar-benar dirasakan oleh masyarakat pekerja?

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang solid di kisaran 5 persen seringkali menjadi sorotan utama pemerintah sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Namun, bagi sebagian besar pekerja, angka tersebut terasa seperti statistik belaka.

Menurut data terbaru, kenaikan UMP di sejumlah provinsi diputuskan hanya berkisar antara 1 hingga 3 persen. Angka ini jauh di bawah target pertumbuhan ekonomi, dan bahkan sulit mengejar laju inflasi, terutama pada kebutuhan primer seperti pangan dan transportasi.

"Menurut saya hanya memang kemarin kan sempat Kemenaker bilang bahwa kenaikannya 3% dan itu kan harus ditolak ya karena kan jelas pertumbuhan ekonomi saja 5% masa kenaikan pekerja dibawah pertumbuhan ekonomi dan belum dihitung inflasi kan sekitar 1,5 sampai 2% ya ditambahinlah 5% tambah insulasi kan 7% nah itu wajar segitu memang," ujar Gede Sandra seorang ekonom dari ITB saat dihubungi Disway, Rabu 17 Desember 2025.

"Jadi kalau kita ingin menggerakan perekonomian tidak perlu menggunakan jalan pikir lama dimana kelas pekerja itu harus dibatasi upahnya," sambungnya.

Kritik utama yang dilontarkan Gede Sandra adalah bahwa trickle-down effect teori bahwa kekayaan dari pertumbuhan ekonomi akan mengalir ke bawah tidak berjalan secara efektif. 

Ia berpendapat bahwa dari total 5 persen pertumbuhan ekonomi, porsi yang benar-benar dinikmati oleh masyarakat kelas bawah dan pekerja formal melalui peningkatan gaji dan daya beli hanya sekitar 3 persen, atau bahkan kurang.

"Jika kita tumbuh 5 persen, namun UMP hanya naik 1,5 persen, ini menunjukkan bahwa sebagian besar hasil dari pertumbuhan tersebut terakumulasi pada sektor-sektor tertentu, seperti investasi modal besar atau laba perusahaan, bukan pada gaji riil pekerja," jelasnya.

"Masyarakat hanya mendapatkan 'sisa' atau dampak tidak langsung, yang kami perkirakan hanya 3 persen dari pertumbuhan total," tambahnya.

Federasi Serikat Pekerja (FSP) telah berulang kali menyuarakan kekecewaan mereka terhadap formula perhitungan UMP yang ditetapkan oleh pemerintah. Mereka menuntut agar formula tersebut tidak hanya didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga memasukkan variabel lain seperti Indeks Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan rata-rata profitabilitas perusahaan di daerah tersebut.

"UMP seharusnya menjadi jaring pengaman ekonomi, bukan sekadar angka di atas kertas," kata Jatmiko, Ketua FSP Nasional saat dihubungi Disway secara terpisah.

"Kami meminta pemerintah untuk tidak hanya bangga dengan angka 5 persen, tetapi juga memastikan bahwa angka itu terdistribusi secara adil. Jika tidak, pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan itu hanya akan memperlebar jurang kesenjangan sosial," sambungnya.

Para ekonom dan serikat pekerja mendesak pemerintah untuk merevisi formula UMP agar lebih transparan, progresif, dan benar-benar merefleksikan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai, sehingga manfaat pertumbuhan 5 persen tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite, tetapi juga oleh seluruh elemen masyarakat pekerja.

 

Tim Lipsus Disway (Anisha Aprilia, Dimas Rafi, Bianca Khairunissa, Hasyim Ashari) 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads