'Senjata Makan Tuan'! Sanksi AS ke Rusia Malah Bikin Transaksi Rubel-Yuan Melonjak 1000 Persen

'Senjata Makan Tuan'! Sanksi AS ke Rusia Malah Bikin Transaksi Rubel-Yuan Melonjak 1000 Persen

Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluarkan dekrit terkait pembelian gas menggunakan mata uang rubel pada Kamis 31 Maret 2022.-@leadervladimirputin-Instagram

JAKARTA, DISWAY.ID - Sejumlah sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Rusia nampaknya belum begitu berpengaruh besar terhadap ekonomi negeri Beruang Putih tersebut.

Justru yang terjadi saat ini, sanksi Amerika Serikat kepada Rusia malah berbalik menguntungkan bagi mereka. 

Bagaimana tidak, gara-gara sanksi AS, pertukaran mata uang Rusia dengan mata uang Tiongkok melonjak tajam. 

Pasalnya, demi menghindari dampak sanksi AS, Rusia memaksa mitra-mitra dagangnya tidak bertransaksi menggunakan dolar AS.

BACA JUGA:Lengkap! Cara Membuat Sertifikat Tanah Serta Biaya dan Persyaratannya

Untuk membayar berbagai komoditas impor, negara-negara mitra dagang Rusia diminta menggunakan mata uang rubel

Pada sisi lain, pertukaran mata uang itu dengan mata uang negara sekutu Rusia seperti Tiongkok, melonjak pesat.

Mengutip Bloomberg, pertukaran rubel dengan yuan dalam tiga bulan terakhir melonjak lebih dari 1.000 persen, yakni menjadi setara USD 4 miliar.

Pada Mei 2022 misalnya, diperkirakan pertukaran rubel-yuan mencapai 25,91 miliar yuan atau setara USD 3,9 miliar. 

Pertukaran yang terjadi di pasar spot Moskow secara bulanan itu, melonjak 12 kali lipat dibandingkan Februari 2022, saat Rusia pertama kali menyerang Ukraina.

Seiring dengan itu, pertukaran dolar-rubel turun ke level terendah dalam 10 tahun terakhir. 

Akibatnya rubel menguat 118 persen terhadap dolar AS, terhitung sejak Maret 2022 hingga Mei 2022.

“Pemain utama di pasar transaksi yuan-rubel adalah perusahaan dan bank, tetapi ada juga minat yang tumbuh dari investor ritel,” kata pengamat pasar uang di bank Rusia, Sberbank CIB, Yuri Popov, dikutip Sabtu 11 Juni 2022.

“Volume transaksi rubel-yuan di pasar spot bursa Moskow telah melonjak. Ini karena kekhawatiran sanksi, serta niat Rusia dan China untuk mendorong penggunaan mata uang nasional dalam perdagangan bilateral,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: