Intoleransi dan Kemandulan Ekonomi Indonesia
Ilustrasi TiikTok Shopping--
PANDEMI Covid 19 yang menghantam Indonesia membuat tatanan sosial-ekonomi menjadi berantakan. Sektor ekonomi tentunya yang paling merasakan dampaknya. Krisis global akibat Covid 19 ini benar-benar membawa dampak ikutan (contagion effect) luar biasa terhadap siklus perekonomian di Indonesia. Akibat dampak krisis global ini, harga BBM, kebutuhan sehari-hari ikut melonjak.
Bukan itu saja, PHK terjadi di mana-mana sehingga angka pengangguran semakin melonjak. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin sebelum pandemi atau Maret tahun 2019 sekitar 25.14 juta orang atau 9,41 persen. Kemudian meningkat memasuki tahun pertama pandemi dan puncaknya pada Maret 2021 sebanyak 27,54 juta orang atau 10,14 persen dari total penduduk Indonesia. Munculnya angka kemiskinan ini tidak lain karena pada saat pandemi, tatanan ekonomi rakyat menjadi berantakan, pasar tutup, mal tutup, kios-kios tutup, lapak-lapak jualan semuanya gulung tikar akibat adanya aturan pemerintah yang melakukan pembatasan ruang gerak masyarakat.
Gambaran di atas tentu saja membuat kita mengelus dada. Ada yang lebih gila lagi di tengah keterpurukan ekonomi karena pandemi ini, yaitu kalangan oligarki menggunakan momentum pandemi ini untuk mengeksploitasi ekonomi. Maka yang terjadi rakyat semakin susah dan terpuruk. Kita tentu saja masih ingat susahnya rakyat semakin diperparah dengan peristiwa penangkapan salah satu menteri kabinet Presiden Jokowi yaitu Menteri Sosial Juliari Batubara yang melakukan tindakan korupsi menerima suap dana bansos penanganan pandemi Covid 19 sebesar Rp 8,2 miliar.
Pasca pandemi, animo masyarakat untuk kembali bangkit dari keterpurukan ekonomi mulai terlihat, belajar dari dahsyatnya peristiwa pandemi Covid 19 yang menghancurkan perekonomian masyarakat. Maka muncullah inovasi-inovasi baru dalam melakukan transaksi perdagangan salah satunya adalah dengan menerapkan penjualan secara digital (e-commerce). Tentu saja cara ini dianggap lebih praktis dan efisien baik secara waktu, biaya, dan tenaga. Pola transaksi masyarakat dari manual ke digital menjadi tanda lahirlah fenomena ekonomi digital yang ditandai dengan berkembangnya e-commerce secara luas baik di sektor bisnis maupun sektor publik untuk peningkatan pelayanan.
Semakin melek digital masyarakat, lahirlah wadah-wadah baru untuk melakukan transaksi jual beli. Yang populer saat ini sebut saja TikTok. Dalam perjalanannya transformasi TikTok dari yang tadinya hanya sebagai media sosial, kemudian merambah ke platform e-commerce. Sebelum dilarang untuk dijadikan ptaform jualbeli, CNBC Indonesia menyebutkan meskipun ekonomi sedang susah, transaksi di TikTok tembus sekitar Rp 92 triliun.
Ini artinya perkembangan e-commerce saat ini sedang menjadi idola masyarakat Indonesia. Ada beberapa alasan kenapa masyarakat kita lebih memilih melakukan transaksi bisnis dengan cara digital. Selain mudah tentu saja biayanya yang murah. Dengan berjualan secara online mereka tidak lagi terbebani biaya sewa tempat seperti kios, ruko atau gerai-gerai yang tentu saja semakin tahun semakin naik biaya sewanya. Akibatnya para pemilik kios, ruko dan mall dari kalangan konglomerat, para oligarki merasa resah, sepinya sewa berdampak pada penurunan drastis kekayaannya.
Jika kita mencermati kondisi yang menggambarkan situasi negara kita saat ini, tentu saja tidak akan aneh dengan istilah oligarki yaitu munculnya segelintir orang yang berkuasa menentukan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Secara ekonomi, oligarki yaitu sejumlah kecil elite yang menguasai sebagian besar dari kekayaan negara kita. Maka ketika para oligarki politik bergandengan tangan dengan para oligarki ekonomi yang terjadi kekayaan negara ini dirampok, dijarah, dan dihabisi dengan berbagai macam skandal-skandal besar yang bertameng hukum.
Karenanya tidak heran kalau kita sering mendengar, bangkrut, berutang, dan tiarapnya BUMN-BUMN. Skandal pajak yang hanya terlontar terdapat transaksi janggal trilliunan tanpa proses penyelesaian yang realistis.
Di tengah masyarakat disuguhkan skandal-skandal heboh negeri ini, para elite sedang asyik rebutan menggarap proyek-proyek dengan diberi label proyek strategis nasional, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang tentu saja menelan biaya triliunan hasil dari utang kepada Tiongkok. Padahal kemanfaatan bagi rakyat tidak terlalu dirasakan.
Jika acuannya untuk mensinergikan kawasan Jakarta-Bandung maka perlu ditinjau ulang dari sisi kemanfaatannya bagi mobilitas ekonomi masyarakat. Daerah terdekat Jakarta saja seperti Karawang, Purwakarta penyediaan layanan transportasi publiknya belum tersedia dengan baik. Tapi namanya kalangan elite oligarki, kebijakan bisa disulap untuk kepentingan politiknya.
Ketika masyarakat sudah terbantu secara ekonomi dengan berjualan secara online melalui TikTok shop, muncul kebijakan baru yang tergesa-gesa. Seakan respons dadakan dari kalangan pemilik gedung-gedung mal, pertokoan Tanah Abang, dan pertokoan-pertokoan yang dimiliki para elite yang dibisikkan ke telinga pemerintah. Menteri Perdagangan yang belum tuntas ngurusin turunnya harga beras, daging, cabe, dan telur di pasaran terburu-buru mengambil langkah kurang tepat dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 yang mengatur perdagangan elektronik, maka efeknya jualan di medsos seperti TikTok dilarang dan hanya digunakan untuk promosi.
Tentu saja ini merupakan langkah mundur dari kebijakan pemerintah yang tidak mendukung inovasi-inovasi perkembangan ekonomi digital yang sangat membantu masyarakat. Kenapa perputaran ekonomi yang membantu masyarakat justru dibatasi sementara semangat mendatangkan investor-investor asing terus digalakkan.
Dengan kata lain, ketika terlalu mesranya pemerintah dengan para oligarki ini maka tentu saja akan melahirkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan, ketimpangan ini tentu saja akan membahayakan kohesi sosial, stabilitas politik dan ekonomi. Studi Seligson (2002) di sejumlah negara di Amerika Latin, misalnya, menunjukan bahwa praktik-praktik oligarki telah menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat pada sistem politik dan relasi interpersonal, dan bahkan telah menggerus legitimasi politik suatu pemerintahan.
Analisa ini semakin diperkuat oleh studi Treisman (2000), Sandholtz, dan Koetzle (2000), yang menunjukan bahwa negara-negara yang telah mampu melembagakan dan menerapkan sistem demokrasi yang lama dan matang (mature) memiliki tingkat indeks persepsi korupsi yang rendah. Negara-negara yang memiliki peringkat indeks korupsi tinggi biasanya adalah negara-negara yang belum mencapai tahap demokrasi matang. Karenanya, penguatan pelembagaan demokrasi yang anti oligarki memiliki kontribusi penting untuk mengikis praktek oligarki di suatu negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: