Menjernihkan Identitas Politik dan Politik Identitas pada Amin

Menjernihkan Identitas Politik dan Politik Identitas pada Amin

KH Dr Aguk Irawan MN-Dokumentasi Pribadi-

Jika identitas politik adalah sebuah abstraksi tentang praktek-praktek politik, maka politik identitas adalah praktek-praktek politik yang memanfaatkan identitas sebagai tools untuk meraih tujuan politik. Jadi, identitas politik dan politik identitas seperti teka-teki mana lebih dahulu apakah telur atau ayam.

Namun, para kritikus politik identitas memberikan penekanan yang definitif, bahwa memahami hakikat politik identitas bisa dari sisi aksiologisnya; dampaknya. Misalnya, kaum sosialis yang mengusung ideologi Marxisme mengatakan politik identitas berbahaya karena bisa memecah belah solidaritas kaum proletariat dan melemahkan perjuangan kelas secara keseluruhan.

Mengapa kaum sosialis Marxis berpikir demikian, tak lain karena identitas politik kaum sosialis-Marxis adalah perjuangan kelas dan pembelaan kaum proletariat. Dalam konteks identitas politik sosialis Marxis ini, politik identitas dipahami sebagai segala anti tesa yang berlawanan dengan mereka.

BACA JUGA: Intoleransi dan Kemandulan Ekonomi Indonesia

Berbeda dari sosialis Marxis, kaum pendukung mazhab universalisme mengatakan bahwa politik identitas adalah segala hal yang mengalihkan perhatian dari struktur penindasan yang tidak berbasis identitas. Begitu pun kelompok sayap kanan mengkritik, politik identitas adalah politik partikulatisasi. Melakukan mobilisasi dengan menegaskan identitas secara lebih spesifik dan ekslusif.

Definisi yang unik disampaikan Nancy Fraser, dalam From Redistribution to Recognition, bahwa politik identitas adalah segala bentuk mobilisasi politik yang berhenti di permukaan dan tidak berani melawan status quo. Apapun bentuk praktek politik yang mendukung kemapanan adalah bagian dari implementasi politik identitas.

Sebagaimana kaum sosialis-Marxis yang ingin memperjuangkan proletariat, Nancy Fraser ingin melawan kemapanan. Jadi, masuk di akal bila politik identitas adalah apapun yang pro-kemapanan.

Beda lagi dengan pandangan Kurzwelly, Rapport, dan Spiegel yang mendefinisikan politik identitas sebagai tindakan reproduksi gagasan esensialis secara terus-menerus, padahal pada dasarnya gagasan tersebut bisa saja salah. Pengulang-ulangan gagasan yang memungkinkan salah adalah bentuk politik identitas.

Maka berkaca dari pengertian di atas, bisa ditarik benang merah, bagi siapa saja yang keras dan anti pada politik identitas, dalam hal ini pada identitas "keislaman," atau identitas kelas tertentu, sebagaimana yang selama ini mereka tuduhkan pada Paslon Amin, maka boleh jadi karena dua hal, pertama mereka masuk dalam lingkaran phobia islam, dan kedua mereka berideologi marxisme. 

Karena itu jika ada penyematan Paslon Amin dengan politik identitas, maka itu bisa dipatikan bagian dari strategi, pola stigmatisasi, framing, hingga mobilisasi politik yang targetnya hanya untuk mendistorsi opini publik dan memberikan label negatif pada figur yang disasar.

Tetapi gaya seperti ini masih pola lama, karena Paslon Amin punya modal besar, yaitu Anies dan Gus Imin sama-sama lahir dari gerakan dan berpengalaman sebagai aktivis kampus yang dikenal sebagai corong moderasi di Indonesia yaitu HMI dan PMII.

Politisasi Agama

Politisasi agama berbeda dari politik identitas. Jika para filsuf Barat berbeda-beda dalam mendefinisikan makna politik identitas itu adalah maklum, karena mereka berangkat dari akal rasional murni. Berbeda dengan umat beragama, apapun agamanya, berangkat dari dasar yang sama; keimanan pada Tuhan.

Namun, politisasi agama juga harus dilihat dari konteksnya. Di sebuah negara yang sekuler, politisasi agama tidak diizinkan. Sebaliknya, di sebuah negara yang bertuhan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, politisasi agama dibedakan menjadi dua jenis: pertama, mobilisasi politik yang didasarkan pada nilai universal agama, dan kedua, mobilisasi politik yang didasarkan pada nilai partikular agama.

Indonesia sebagai sebuah negara bersepakat bahwa nilai universal agama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Selebihnya dianggap sebagai partikular. Karena, umat Hindu, Buddha, Islam, Kristen dan Konghucu dibenarkan untuk memobilisasi politik untuk tujuan mempertahankan nilai universal bersama, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: