Pagar Laut Simbol Kekuasaan Atas Ruang Publik, Pakar Kebijakan Publik: Pemerintah Tak Transparan pada Masyarakat

Pagar Laut Simbol Kekuasaan Atas Ruang Publik, Pakar Kebijakan Publik: Pemerintah Tak Transparan pada Masyarakat

Pagar laut simbol kekuasaan atas ruang publik, di mana pakar kebijakan publik menjelaskan bahwa kasus ini muncul karena pemerintah tak transparan pada masyarakat.-candra pratama-

Area 266 sertifikat SHGB dan SHM yang berada di bawah laut itu, tidak bisa disertifikasi karena berada di luar garis pantai dan tidak boleh menjadi privat properti.

BACA JUGA:Kunjungi Festival Bandeng di Rawa Belong, Pj Gubernur Jakarta Ungkap Nilai Sejarahnya

BACA JUGA:Dukung Penghematan Anggaran 2025, KPK Pastikan Tak Pangkas Honor Pegawai

"Kalau cacat prosedur, cacat material, batal. Bukan sekedar mencabut, tapi BPN harus melibatkan semua aparat negara atau tim pendidik untuk memeriksa siapa aktor-aktornya," ungkap Riko.

Rio mengungkapkan memagari laut dengan reklamasi memiliki arti yang berbeda.

Menurutnya, reklamasi merupakan pembuatan daratan di laut dan kegiatan itu dilakukan setelah peraturan presiden (perpres) diterbitkan.

BACA JUGA:Pramono-Rano hingga Teguh Setya Budi Disambut Palang Pintu Hadiri Festival Bandeng di Rawa Belong

BACA JUGA:Cara Cek BI Checking Online Lewat HP, Gampang Banget!

Sementara, pagar laut ini bisa dipahami sebagai simbol kekuasaan terhadap ruang publik, memisahkan ruang yang seharusnya menjadi milik bersama (commons) menjadi ruang yang dikuasai.

"Framming-nya, pagar laut ini seolah reklamasi. Padahal, reklamasi kan dari darat nambah ke laut, ada prosesnya ada proses izinnya," tambahnya.

Riko secara tegas menyebut, adanya kisruh pagar laut karena tidak transparannya pemerintah terhadap masyarakat

BACA JUGA:Daftar 10 Kementerian-Lembaga dan Pemda dengan Skor SPI Terbaik di 2024 Versi KPK: Kementerian Luar Negeri dan Bank Indonesia Teratas

BACA JUGA:Survei Indikator Soroti Tingkat Kepuasan Masyarakat dengan Program Makan Bergizi Gratis

DPR sebagai wakil rakyat pun hanya seperti menunggangi kepentingan untuk segelintir kelompok.

Sebelumnya, Pakar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Nurhasan Ismail memiliki pandangan lain.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads