bannerdiswayaward

Tuna Diekspor, Kisah Pilu Nelayan Morotai Jadi Penonton di Laut Sendiri

Tuna Diekspor, Kisah Pilu Nelayan Morotai Jadi Penonton di Laut Sendiri

Keberadaan kapal besar di jalur ini tidak hanya merampas ruang tangkap nelayan lokal, tetapi juga mengancam ekosistem perairan dangkal.--Istimewa

JAKARTA, DISWAY.ID - Di balik janji pembangunan perikanan di Morotai, tersembunyi ironi pahit.

Gelombang hilirisasi justru berisiko menenggelamkan nelayan kecil, subjek yang seharusnya menjadi tulang punggung narasi kebangkitan di Pulau Terluar 3T.

Di peta geopolitik dan geoekonomi Indonesia, Pulau Morotai seharusnya ditakdirkan menjadi lokus utama kebangkitan hilirisasi tuna Nusantara.

BACA JUGA:Kolaborasi Pertamina Patra Niaga dan Pemerintah Hadirkan SPBUN di Lampung Timur untuk Dukung Nelayan

Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) didaulat sebagai penggerak transformasi ikan segar menjadi komoditas bernilai tinggi. 

“Tolok ukur keberhasilan hilirisasi tuna di Morotai terletak pada sejauh mana nilai tambah ekonomi dapat dinikmati oleh para nelayan sebagai ujung tombak sektor ini. Sejarah Bandara Pitu Morotai sebagai pangkalan strategis global harus menginspirasi terciptanya sejarah baru: menjadikan Morotai sebagai pusat hilirisasi tuna yang berkeadilan, tempat nelayan berdaulat di lautnya sendiri,” jelas Rachma Fitriati, Ketua Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia di Morotai. 

BACA JUGA:65 Kampung Nelayan Merah Putih Rampung Dibangun Tahun Ini

Pelanggaran Zonasi dan Ancaman bagi Nelayan Tradisional

Konflik zonasi menjadi persoalan mendesak di perairan Bere-bere dan Gua Hira.

Fakta di lapangan menunjukkan kapal-kapal berukuran 30 GT seperti Kapal PJK masih aktif beroperasi di kawasan tersebut.

Padahal, aktivitas ini jelas melanggar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan yang menetapkan jalur 0-4 mil sebagai zona khusus nelayan kecil.

"Zona ini seharusnya menjadi ruang hidup sakral bagi nelayan tradisional dengan kapal di bawah 5 GT," tegas Rachma Fitriati.

BACA JUGA:Persaudaraan Tani-Nelayan Puji Setahun Pemerintahan Prabowo: Serius Wujudkan Swasembada Pangan!

Helmi Muhammad, Kepala Desa Bere-bere Morotai Utara, mengungkapkan pola yang lebih sistemik.

"Kapal besar justru membentuk jejaring dengan Kapal Pukara yang bertindak sebagai penyuplai hasil tangkapan dari zona terlarang," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads