Kampus Hijau Dimulai dari Budaya Hidup
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)--
Jika pola hidup tetap sama mengandalkan kendaraan untuk jarak dekat, menumpuk kendaraan di ruang sempit, dan mengabaikan opsi berjalan kaki, maka teknologi hijau berisiko menjadi sekadar kosmetik ekologis.
Ia terlihat ramah lingkungan di permukaan, tetapi gagal menyentuh akar persoalan: cara manusia menggunakan ruang dan energi secara berlebihan.
Di sinilah tantangan sesungguhnya berada, bukan pada kecanggihan mesin, melainkan pada kesiapan budaya.
Kampus memiliki posisi strategis dalam ujian ini.
BACA JUGA:Mendorong Area Studies di Indonesia: Jalan Menjadi Bangsa Besar
BACA JUGA:Transportasi Hijau Bukan Sekadar Opsi, Melainkan Keharusan
Sebagai ruang pendidikan, kampus bukan hanya tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga arena pembentukan kesadaran.
Pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah kampus hanya menjadi etalase inovasi teknologi, atau benar-benar membangun etos ekologis di kalangan warganya?
Kesadaran lingkungan tidak tumbuh dari instruksi administratif semata, tetapi dari kebiasaan yang dipraktikkan secara konsisten.
Karena itu, kehadiran Bilis kami posisikan sebagai fasilitas pendukung, bukan solusi tunggal.
Ia membantu mobilitas sivitas akademika, terutama bagi mereka yang membutuhkan, sekaligus menjadi simbol komitmen institusi terhadap keberlanjutan.
Namun pesan yang lebih penting adalah ini: keberlanjutan menuntut perubahan cara hidup, bukan sekadar perubahan mesin.
BACA JUGA:Menelusuri Mozaik Islam di Turki
Teknologi boleh maju, tetapi tanpa kesadaran manusia, ia kehilangan makna etisnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: