Kampus Hijau Dimulai dari Budaya Hidup
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)--
BACA JUGA:Apresiasi untuk Tujuh Prestasi Gus Yahya di PBNU
Sebagai perguruan tinggi keagamaan Islam, UIN Jakarta memandang keberlanjutan sebagai bagian dari amanah moral.
Etika Islam menempatkan manusia sebagai penjaga bumi, bukan pemilik mutlak.
Prinsip moderasi dan tanggung jawab menuntut penggunaan sumber daya secara proporsional dan berkelanjutan, bukan berlebihan, bukan pula abai.
Dari Fasilitas ke Peradaban
Tiga unit Bilis yang kini beroperasi di lingkungan UIN Jakarta adalah simbol komitmen, bukan tujuan akhir.
Ia memudahkan mobilitas sivitas akademika, tetapi sekaligus mengundang pertanyaan yang lebih mendasar: sejauh mana kita bersedia mengubah kebiasaan hidup kita sendiri?
BACA JUGA:Kebijakan Ekonomi Positif Membawa IHSG All Time High
BACA JUGA:Ihwal Tafsir Peraturan, Kuasa, dan Sebuah Jalan Tengah
Kampus hijau tidak lahir dari satu kebijakan atau satu fasilitas baru, melainkan dari konsistensi langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama dan diulang setiap hari.
Tanpa perubahan perilaku, teknologi ramah lingkungan akan berhenti sebagai ornamen modernitas.
Sering kali kita mengira bahwa kemajuan cukup diukur dari apa yang kita tambahkan: gedung baru, kendaraan baru, sistem baru.
Padahal, keberlanjutan justru menuntut keberanian untuk mengurangi, mengurangi ketergantungan pada kendaraan, mengurangi pola hidup yang terlalu cepat, dan mengurangi jarak sosial yang tercipta oleh rutinitas yang mekanistik.
Kampus sebagai ruang pendidikan seharusnya menjadi tempat pertama di mana kesadaran semacam ini tumbuh.
World Health Organization (WHO) dalam Global Status Report on Physical Activity (2022) mengingatkan bahwa kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit tidak menular pada usia produktif.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: