Belajar Tasawuf dari Abu Dzar al-Ghifari

Belajar Tasawuf dari Abu Dzar al-Ghifari

KH Imam Jazuli Lc--

SUFISME Islam adalah tentang keteladanan hidup, yang bisa dicontoh baik oleh umat manusia secara umum maupun yang berlatarbelakang spesifik, termasuk orang yang berkarakter pemberani. Sosok Abu Dzar al-Ghifari (w. 652 M., di Arab Saudi) adalah seorang sufi dari kalangan sahabat yang sangat pemberani. 

Sebelum Islam datang, Abu Dzar sudah terkenal sebagai sosok pemberani sekaligus yang sudah bertauhid, memegang teguh prinsip tidak ada tuhan selain Allah Yang Mahaesa (Ibnu Sa'd az-Zuhri, at-Thabaqat al-Kabir, 1957: 4/219). Perjumpaan dengan Islam adalah momen untuk melanjutkan keimanan yang sudah hanif dan dipeluknya sejak awal.

BACA JUGA:Sufi, Belajar dari Eropa

Kepribadian yang pemberani tidak saja pada tataran lahiriah melainkan juga keberanian batin, terutama dalam menegakkan ajaran Islam. Prinsip sufisme ala Abu Dzar al-Ghifari adalah seperti apa yang dikatakannya sendiri sebagai wasiat-wasiat Rasulullah saw. Abu Dzar berkata begini:

“Kekasihku (khalili) berwasiat padaku tentang tujuh perkara: ia memerintahkanku agar mencintai orang-orang miskin dan orang-orang rendahan, memerintahkanku agar selalu memandang orang yang di bawahku bukan yang yang di atasku, memerintahkanku agar aku tidak meminta apapun pada seseorang, memerintahkanku agar menyambung tali silaturahmi sekalipun aku tidak menyukainya, memerintahkanku mengatakan kebenaran walaupun pahit, memerintahkanku agar tidak gentar menghadapi cacian dalam membela Allah, dan memerintahkanku agar memperbanyak dzikir La Haula wa La Quwwata illa Billah, karena dzikir ini adalah harta karun terpendam di bawah Arsy Tuhan,” (Az-Zuhri, at-Thabaqat, 4/222).

Hari ini keberanian untuk bergaul dengan masyarakat akar rumput sangatlah sulit dilakukan. Sekalipun itu dilakukan, sering kali hanya bersifat musiman, seperti menjelang pemilihan legislatif dan eksekutif. Rakyat kecil didatangi dengan membawa janji-janji manis belaka. Setelah hajat mereka sendiri terwujud, rakyat hanya bisa memandangnya dari jauh dengan hati yang patah, terluka oleh pengkhianatan atas kepercayaan dan harapan rakyat.

Abu Dzar al-Ghifari mewujudkan suluk sufistiknya dengan cara bergaul bersama orang-orang kelas menengah ke bawah. Yaitu, orang-orang yang secara sosial terpinggirkan, termarjinalkan, bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Namun, sekalipun menjalankannya sangat berat dan kadang melahirkan sifat malas, Abu Dzar tetap bersilaturrahmi demi menjalankan wasiat Rasulullah saw.

Selain itu, keberanian Abu Dzar juga ditunjukkan dari sikapnya untuk tegas menyampaikan kebenaran sekalipun pahit dan menyebabkannya mendapat caci maki. Andaikan sifat keberanian ini dimiliki oleh setiap wakil rakyat di jajaran pemerintahan, niscaya nasib rakyat tidak akan terabaikan, dan ketika ada pelaku kecurangan yang merugikan rakyat maka pelakunya akan lebih mudah dijebloskan ke penjara.

Sayangnya, kita mengenal tradisi “asal bapak senang” dan budaya “menjilat atasan” yang merajalela. Kebenaran akan disembunyikan bila itu dinilai akan membahayakan posisi atasannya, karena sang bawahan tidak ingin dipecat lalu kehilangan pekerjaan dan sumber nafkah hidupnya. Demi mengejar kebahagiaan duniawi, kerap kali kebenaran tidak disampaikan. Abu Dzar al-Ghifari tidak mengajarkannya.

Abu Dzar menjalankan perintah Rasulullah saw untuk tidak mengemis dan meminta apapun pada orang lain, apalagi soal jabatan. Karena konsekuensinya adalah menjadikan diri ‘budak’ suruhan dari orang-orang yang telah banyak berjasa di awal. Untuk itulah, andaikan prinsip Abu Dzar ini dipegang teguh oleh para calon pemimpin bangsa, maka apa yang disebut “politik transaksional”, “politik balas budi,” dan “money politics” tidak akan pernah terjadi.

Tentu saja sema wasiat Rasulullah saw tersebut sangat sulit dikerjakan dan bisa-bisa mengancam posisi diri sendiri. Oleh karenanya, Abu Dzar terkenal sebagai sosok sahabat yang pemberani, bukan karena berani berperang di medan tempur melawan serbuan orang kafir, melainkan juga berani menyampaikan kebenaran walaupun pahit, berani untuk tidak mengemis pada orang lain yang membuat dirinya terikat jasa balas budi.

Abdullah bin Sa'd az-Zuhri menambahkan keterangan tentang sifat Abu Dzar al-Ghifari dengan mengutip riwayat dari Abu Hurairah ra., yang mengatakan: barang siapa yang ingin melihat ketawadhu'an Isa putra Marya maka lihatkan Abu Dzar ini (Az-Zuhri, Thabaqat, 4/228). Artinya, segarang apapun Abu Dzar saat menyampaikan kebenaran dan tidak gentar menghadapi cacian, namun lubuk hatinya selembut Nabiyullah Isa bin Maryam alaihissalam.

Hal ini konsisten dengan prinsip menjalankan wasiat Rasulullah saw agar selalu menunduk ke bawah, melihat orang-orang yang lebih rendah dari dirinya, bukan orang-orang yang lebih tinggi. Dengan begitu, ia akan bergaul dengan lebih mudah bersama orang-orang dari kalangan masyarakat akar rumput, dan tiak berambisi berjejaring dengan para elite. Pribadi semacam inilah yang sejatinya betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat grass root, bukan pribadi yang sebatas janji untuk berpihak pada rakyat kecil.

Abu Nu'aim al-Ashfihani mengutip kata-kata penuh hikmah dari Abu Dzar al-Ghifari ini: "dasar bumi jauh lebih aku sukai dari permukaannya, kemiskinan jauh lebih aku cintai dari pada kaya," (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya’, 1/162). Abu Dzar tidak suka menjadi pribadi viral dan kaya raya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait