Guru Besar UGM Pastikan Vaksin Japanese Encephalitis Aman untuk Anak, Bisa Cegah Radang Otak

Guru Besar UGM Pastikan Vaksin Japanese Encephalitis Aman untuk Anak, Bisa Cegah Radang Otak

uru Besar UGM Mei Neni. Ia memastikan vaksin Japanese Encephalitis (JE) aman diberikan, terutama kepada anak. -UGM-

JAKARTA, DISWAY.ID -- Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. dr. Mei Neni Sitaresmi, SpA(K), PhD memastikan bahwa vaksin Japanese Encephalitis (JE) aman diberikan, terutama kepada anak.

Hal ini karena vaksin tersebut telah melalui berbagai pengujian sebelum diberikan ke masyarakat.

Bahkan, vaksin JE yang telah dicanangkan pemerintah ini masuk dalam kategori obat yang stanndar keamanannya paling tinggi.

BACA JUGA:Mengenal Rehabilitasi Kardiovaskular, Tahapan Penting Usai Kateterisasi dan Pasang Ring Jantung

“Sebelum diberikan kepada masyarakat, vaksin telah melalui serangkaian penelitian dan uji coba yang panjang,” terang Mei, dikutip 3 Oktober 2024.

Oleh karena itu, ia mendukung program pemerintah untuk memberikan vaksinasi JE ini yang menyasar anak usia 9 bulan hingga 15 tahun.

Termasuk di Yogyakarta, program vaksinasi gratis sudah diberikan sejak September lalu.

Apalagi, menurutnya, anak-anak di rentang usia tersebut belum memiliki sistem kekebalan tubuh sebaik orang dewasa.

Terkait efek samping, ia menjelaskan, umumnya timbul efek samping ringan yang dapat sembuh sendirinya.

BACA JUGA:AI Kian Jadi Pilihan Layanan Kesehatan: Jembatani Kesenjangan Nakes, Wawasan dan Keberlanjutan

Sementara virus JE yang masuk ke tubuh manusia bisa menimbulkan gejala infeksi, seperti demam, badan lesu, nyeri otot dan lain-lain.

Meski gejala terlihat ringan, pada kelompok yang berisiko tinggi, akan menimbulkan gejala yang serius seperti pusing yang menyebabkan anak terus-terusan rewel, muntah-muntah, hingga kejang dan penurunan kesadaran.

Bahkan, penyakit ini bisa berujung pada kematian akibat terjadinya pembengkakan otak.

“Jika seseorang sampai di fase gejala serius tersebut, angka kematian penyakit ini tinggi dan tidak ada obatnya,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads