Belajar dari Pandemi Covid-19, Negara Berkembang Harus Dapat Akses Kesehatan Secara Adil

Belajar dari Pandemi Covid-19, Negara Berkembang Harus Dapat Akses Kesehatan Secara Adil

Negara maju dan negara berkembang harus mendapatkan akses layanan kesehatan secara adil--freepik

JAKARTA, DISWAY.ID – Belajar dari pandemi Covid-19, ada ketidakadilan untuk mendapatkan akses kesehatan antara negara maju dan negara berkembang.

Negosiasi WHO Pandemic Agreement (Traktat Pandemi) mendekati keputusan akhir.

AIDS Healthcare Foundation menyuarakan perhatian besar terhadap proposal perjanjian tersebut.

BACA JUGA:Covid-19 Varian KP.1 dan KP.2 di Singapura Meluas ke Kamboja dan Thailand, Seberapa Mengancam di Indonesia?

Banyak yang telah berubah sejak 30 Maret 2021, selama terjadinya pendemi Covid-19, para pemimpin negara- negara Eropa dan negara-negara berkembang saling bergandengan tangan untuk menyatakan komitmen pada sebuah berjanjian yang dilandaskan pada "solidaritas, kejujuran, transparansi, inklusi dan keadilan"

Keadilan atau equity awalnya dinarasikan sebagai jantung dalam proposal perjanjian ini, lalu dijalankan menjadi tidak berarti apa-apa dan sekedar klise.

Meskipun perjanjian ini menyebutkan tujuan dari pencegahan, kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi berlandaskan keadilan, namun banyak negara-negara seperti tidak serius menjadikannya sebagai sebuah kenyataan.

BACA JUGA:Singapura Dihantam Covid-19, Varian JN.1 Paling Banyak Beredar di Indonesia

Janji-janji, amal, maupun kewajiban sukarela dianggap cukup untuk mencegah atau mengatasi kesengsaraan kemanusiaan yang diakibatkan ketidakadilan kesehatan dunia selama Covid-19.

Hal ini mengapa menandatangani Pandemic Agreement ini harus diletakan pada komitemen yang jelas dan mengkaitkannya pada kewajiban-kewajiban yang dijalankan secara adil.

The Pandemic Access and Benefit Sharing System (PABS), pasal 12, adalah cara utama untuk mengatasi ketidakadilan kesehatan global. Selama pandemi, negara-negara berkembang "dipaksa untuk ambil bagian dalam ketidakadilan melawan kekuatan besar di mana kompetisi produk-produk kesehatan terkait pandemi, seperti alat pencegahan, reagen, diagnostik, perawatan penyelamat kehidupan, bahkan oksigen, memperkeruh ketidakadilan serta menghalangi efetivitas penanganan.

"Pada segala tingkatan pandemi Covid-19, negara-negara berkembang berjuang untuk mendapatkan keadilan akses ke semua produk-produk kesehatan terkait pandemi. Pertama terbatasnya masker, diagnotisk, ventilator, dan oksigen, kemudian vaksin, dan selanjutnya efektif terapeutik" tukas Dr. Jorge Saavedra, Executive Director of the AHF Global Public Health Institute.

BACA JUGA:Covid-19 Baru di Singapura Melonjak, Politisi Partai Golkar: Bukan Lagi Pandemi

"Sementara itu, negara-negara maju bisa mendapatkan dan menyimpan banyak pasokan dunia ketika mayoritas dunia menantinya di garis belakang,” tandasnya.

Di bawah PABS, para pihak dibutuhkan untuk membagikan meteri-materi biologis dan rangkain data genetis secara cepat, ini sangat diperlukan dalam pengembangan diagnostik, vaksin, dan terapeutik secara tepat waktu.

Partisipasi dalam sistem ini mensyaratkan persetujuan peserta untuk berbagi prosentase tertentu dari produk-produk kesehatan terkait pandemi guna memastikan mereka dapat mendistribusikannya secara seimbang, diperuntukan bagi kebutuhan darurat di semua negara dan menjaga keamanan kesehatan global.

BACA JUGA:Kemenkes RI Minta Publik Waspadai Covid-19 Varian KP.1 dan KP.2 dari Singapura, Ada Pembatasan Perjalanan?

Saat ini, perdebatan sengit antara negara-negara maju dan negara-negara lain mengenai ketentuan Pasal 12 semakin memburuk saat negosiasi mendekati akhir.

Skenario terbaik saat ini dalam teks terbaru akan mengharuskan 20% (10% sebagai sumbangan dan 10% dengan harga nirlaba) produk kesehatan terkait pandemi "disediakan untuk digunakan berdasarkan risiko kesehatan masyarakat dan kebutuhan".

Secara umum, ini sangat tidak mencukupi karena akan membebankan 80% vaksin, pengobatan, dan diagnostik penting tidak dapat diakses oleh negara-negara berpenghasilan rendah (LMIC) yang mencakup sekitar 85% populasi dunia.

Jurnal ilmiah terkemuka dunia, The Lancet, menggambarkan usulan ini sebagai "memalukan dan tidak adil."

"AHF adalah salah satu organisasi pertama yang mempromosikan dan menerbitkan proposal untuk konvensi kesehatan masyarakat global yang baru, namun proposal perjanjian pandemi yang ada saat ini bisa lebih merugikan daripada menguntungkan bila tetap mempertahankan ketidakadilan. Oleh karena itu, kami menganggap instrumen tersebut tidak bermoral, dan kami menyerukan kepada negara-negara anggota untuk menolak perjanjian ini kecuali ada ketentuan yang mengikat yang ditambahkan untuk menjamin kesetaraan," kata Presiden AHF Michael Weinstein.

BACA JUGA:Covid-19 di Singapura Meningkat, Praktisi Kesehatan: Lonjakan Kasus per 6 Bulan Diprediksi akan Terus Ada

Indonesia sebagai bagian negara yang berperan aktif dalam menyusun dan menyetujui pandemi agreement ini hendaknya bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang lebih adil dan mengedepankan kebutuhan masyarakat yang belum usai terdampak pandemi, khususnya di Indonesia dan negara berkembang lainnya.

"Sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil kami mendorong pemerintah indonesia untuk bijaksana dan transparan terhadap pengambilan keputusan pandemic agreement, berlandaskan pada keadilan dan mengedapankan kebutuhan masyarakat terdampak pandemi," ucapnya. 

"Kampanye S.O,S akan kami terus gaungkan untuk mendapatkan keadilan dan tidak menguntungkan negara maju semata akibat pandemic agreement, tidak akan satupun yang aman hingga semuanya aman,” kata Asep Eka Nur Hidayat, Country Program Manager, AHF Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: