Memasuki Tahun 2025, Pengamat Kebijakan Publik Ungkap Indonesia Masih Diterpa Ketidakpastian Ekonomi
Memasuki Tahun 2025, Pengamat Ungkap Indonesia Masih Diterpa Ketidakpastian Ekonomi-disway.id/Bianca Khairunnisa-
JAKARTA, DISWAY.ID -- Kendati sudah memasuki tahun 2025, Indonesia hingga kini masih diterpa oleh berbagai tekanan dari sejumlah kebijakan ekonomi yang diberlakukan pada 2024.
Menurut keterangan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, tekanan tersebut diketahui disebabkan oleh konflik geopolitik, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, dan dampak perubahan iklim.
“Dalam situasi ini, penting bagi kelas menengah Indonesia untuk mengambil langkah strategis guna bertahan dan tetap relevan di tengah ketidakpastian tersebut,” ujar Achmad ketika dihubungi oleh Disway pada Rabu 1 Januari 2025.
BACA JUGA:Erick Thohir Minta Waktu Tempuh Kereta Bandara Dipercepat
BACA JUGA:Pembredelan Lukisan Yos Suprapto, Fadli Zon Dikritik Pakar Budaya Unair: Patut Disayangkan!
Melanjutkan, Achmad juga menambahkan bahwa ketidakpastian ekonomi global menjadi isu utama yang tidak hanya dirasakan oleh negara-negara besar, tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia.
“Perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, memperburuk kondisi dengan menurunkan potensi ekspor dan investasi,” jelas Achmad.
Selain itu, perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem dan bencana alam kerap mengganggu produksi pangan global, yang pada akhirnya mendorong kenaikan harga pangan.
“Konflik geopolitik yang terus berlanjut, seperti perang dagang antara negara-negara besar, semakin menekan stabilitas ekonomi,” ucap Achmad.
BACA JUGA:Berlaku Januari 2025, Kementerian ESDM Ungkap Pertamina Telah Siapkan 2 Kilang untuk BBM B40
Sementara itu di dalam negeri, kebijakan yang diterapkan pemerintah pada 2024 membawa dampak langsung pada kelas menengah di tahun berikutnya.
Salah satu kebijakan yang menonjol adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kebijakan ini, meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, menimbulkan efek domino berupa kenaikan harga barang dan jasa di pasar.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat miskin, tetapi juga kelas menengah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, kemampuan belanja mereka tergerus, sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: