Defisit APBN Bengkak Hingga 2,78 Persen, Ekonom Ungkap Penyebabnya
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, yang mengungkapkan bahwa proyeksi defisit anggaran untuk 2025 diperkirakan akan melebar menjadi 2,78 persen dari PDB, lebih tinggi dibandingkan asumsi awal yang sebesar 2,29 persen-Tangkapan Layar Instagram@smindrawati-
JAKARTA, DISWAY.ID -- Menjelang akhir Juli 2025, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan laporan terbaru dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa proyeksi defisit anggaran untuk 2025 diperkirakan akan melebar menjadi 2,78 persen dari PDB, lebih tinggi dibandingkan asumsi awal yang sebesar 2,29 persen.
“Sesuai pembahasan DPR, kami menyampaikan bahwa tahun 2025 outlook dari APBN akan mencapai defisit 2,78 persen dari PDB. Itu karena dari sisi penerimaan maupun dari belanja negara,” ucap Menkeu Sri Mulyani di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa 24 Juli 2025.
BACA JUGA:Pak Prabowo, Ada Dugaan Korupsi Pascatambang Rp168 Miliar di Bintan!
BACA JUGA:Kaesang Ungkap Sosok Inisial 'J' Bakal Jadi Dewan Pembina PSI: Jokowi?
Dengan adanya pengumuman tersebut, sejumlah pengamat serta pakar ekonomi juga turut buka suara.
Menurut Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, salah satu faktor penyebab dibalik pelebaran defisit, karena pendapatan negara diprediksi hanya mencapai Rp 2.865,5 triliun, atau 95,4 persen dari target awal Rp 3.005,1 triliun.
"Dalam RAPBN 2025, pemerintah menargetkan total utang baru mencapai Rp 729 triliun untuk menutup defisit dan pembiayaan lainnya. Namun, realita menunjukkan bahwa beban pembayaran bunga utang sudah menembus Rp 522,8 triliun pada 2024, dan berpotensi naik lagi pada 2025," jelas Achmad ketika dihubungi oleh Disway, pada Senin 28 Juli 2025.
Artinya, kata Achmad, hampir 20 persen dari seluruh belanja negara hanya untuk membayar bunga utang, bukan untuk pembangunan, kesehatan, atau pendidikan rakyat,"
Lebih lanjut, Achmad juga menambahkan bahwa jika jumlah tersebut ditambahkan dengan cicilan pokok utang jatuh tempo yang mencapai Rp 1.062 triliun di tahun 2025, maka total kewajiban utang (pokok plus bunga) sudah di atas Rp 1.500 triliun.
"Ini setara dengan lebih dari separuh pendapatan negara. Sebuah proporsi yang tidak wajar untuk negara berkembang dengan tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang masih tinggi," pungkas Achmad.
Punya Risiko Tinggi yang Harus Diwaspadai
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
