Najmuddin Kubro: Dakwah Islam dan Perlawanan terhadap Kolonial Mongol

Najmuddin Kubro: Dakwah Islam dan Perlawanan terhadap Kolonial Mongol

KH Imam Jazuli Lc--

TIDAK saja di Baghdad dan Persia, Sufi besar juga lahir di tanah Uzbekistan, salah satu desa di Khawarizmi, yaitu Ahmad bin Umar bin Muhammad al-Khawafi atau dikenal dengan sebutan Najmuddin Kubro. Ia lahir pada tahun 540 H./1145 M. ia wafat pada 618 H./12 Juli 1221 M., saat Mongol menyerang Khawarizmi.

Najmuddin Kubra ini adalah seorang sufi bermadzhan Syafi’I dan Ima Ahlussunnah wal Jamaah. Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala' menceritakan perjumpaan dan dialog antara Najmuddin Kubro dan Fakhruddin ar-Razi. Keduanya membahas arti ma'rifat dan tauhid. Ar-Razi bertanya: "apa arti ilmu ma'rifat?" Najmuddin menjawab: "ma'rifat adalah segala yang datang ke dalam jiwa, dan jiwa tak kuasa menolaknya."

BACA JUGA:Sufisme Dzun Nun al-Mishri: Tauhid, Ma’rifat, Maqomat dan Ahwal

Ar-Razi melanjutkan pertanyaannya: “bagaimana bisa mendapatkannya?” Najmuddin menjawab: “dengan cara meninggalkan segala kepemimpinan dan apapun yang engkau miliki sekarang.” Ar-Razi berkomentar: “inilah yang tidak aku kuasa melakukannya.” Sejak saat itu, Ar-Razi berteman dengan Najmuddin, belajar padanya, serta ikut berperilaku zuhud (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, Muassasah ar-Risalah, 1982: 22/212). 

Imam Adz-Dzahabi melanjutkan penjelasannya, bahwa pada bulan Rabi'ul Awal tahun 618 Hijriah, suku Tartar (Mongol) menyerbu Khawarizmi. Syeikh Najmuddin Kubro turun tangan bergabung dengan penduduk Khawarizmi dalam mempertahankan kota mereka. Sayangnya, ia gugur sebagai mujahid yang membela tanah air dari serbuan Tartar. Saat itu, usianya sudah mencapai 80 tahun (Adz-Dzahabi, 1982: 22/213).

Najmuddin Kubro berusaha menyelamatkan para murid dan sahabatnya ketika Mongol mulai mendekati Khawarizmi. Katanya, "pulanglah kalian ke negeri kalian masing-masing, sebab api telah berkobar dari timur ke barat. Ini adalah fitnah terbesar yang tidak pernah menimpa umat muslim." Tidak saja itu, Najmuddin memerintahkan para muridnya untuk berdoa dengan keras untuk kekalahan bangsa Mongol. 

Namun, setelah berdoa, ia pun berpesan pada murid-muridnya: "ini adalah fitnah besar di mana doa tidak lagi berguna." Dan ketika menyuruh muridnya untuk pulang dan menyebar ke berbagai negeri, ia berpesan "tetapi, aku akan tetap di sini untuk berperang." Setelah selesai berpesan, Syeikh Namjuddin Kubro berseru: “ayo sholat berjamaah!” Selesai sholat dan berdoa mereka segera bersiap untuk perang.  

Dalam usianya yang ke-80 tahun, Najmuddin masih berjiwa muda. Ia mendeklarasikan perang fi sabilillah melawan Mongol, dan mengajak seluruh umat muslim terjun ke dalam perang membunuh Bangsa Tatar ini. Pada saat yang sama, Najmuddin memerintahkan para muridnya untuk menyebar ke wilayah-wilayah Mongol, sambil lalu mendakwahkan Islam secara diam-diam di tengah bangsa Mongol (Ahmad Fathi Sulaiman, Al-Maskut 'anhu fi Al-Tarikh al-Islami, 2018).

Syeikh Najmuddin Kubro pun akhirnya gugur dalam melawan tentara Mongol. Namun, salah satu muridnya yang pulang ke negerinya sendiri, Saifuddin Abul Ma'ali Sa'id bin Al-Muthahhar al-Bakhirizi, tetap menjalankan strategi politik gurunya. Saifuddin Abul Ma'ali pergi ke daerah Transoxiana. Di jaman modern, Transoxiana sebagian besar adalah wilayah Uzbekistan, sisanya masuk wilayah Kazakhstan, Tajikistan, dan Turkmenistan.

Di Transoxiana ini, Saifuddin Abul Ma’ali memilih tinggal di Bukhara dan menyusun kekuatan untuk melawan Mongol. Perkembangan gerakan Saifuddin Abul Ma'ali ini akhirnya bocor ke telinga salah satu jenderal Mongo bernama Bayaku, sehingga memerintahkannya untuk ditangkap. Namun, Setelah informasi penagkapan didengar sang Syeikh, ia berkata: "setelah kehinaan ini, aku melihat ada kemuliaan." 

Pada akhirnya, Bayaku mati sebelum Syeikh Saifuddin Abul Ma'ali tiba. Sejak itulah, pasukan Mongol menganggap Syeikh Abul Ma'ali adalah kekuatan rohani sehingga diperintahkan untuk dibebaskan (Sasapost.com, 8 Mei 2022). Selain itu, Saifuddin Abul Ma’ali ini behasil mengislamkan cucuk Jengish Khan yang bernama Barakah Khan (Ahmad Fathi Sulaiman, Al-Maskut 'anhu fi Al-Tarikh al-Islami, 2018).

Sampai di sini kita menjadi tahu, Najmuddin Kubro tidak saja berhasil menampilkan dirinya sebagai pejuang Islam membela tanah air dan melawan kolonial Mongol, tetapi ia juga berhasil melahirkan kader yang satu visi dengannya, Saifuddin Abul Ma’ali. Najmuddin Kubro sudah tahu lebih dulu bahwa kekuatan Mongol adalah fitnah besar yang tidak bisa dibendung. Karenanya, ia memilih tetap berjuang sendiri namun menyuruh murid-muridnya untuk menyebar dan terus berdakwah.

Setelah wafatnya Najmuddin Kubro, kekhalifahannya diwarisi oleh Najmuddin Ar-Razi, dari Ray, Iran (wafat 1256). Najmuddin Ar-Razi ini pergi ke kota Konya dalam rangka melarikan diri dari pengejaran pasukan Mongol. Di kota Konya Turki, Najmuddin Razi masuk ke dalam perlindungan Sultan Saljuk 'Alauddin Kaykubat dan di lain waktu hadir ke majlis pengajian Jalaluddin Rumi (Jihan Okoyuju, Maulana Jalaluddin ar-Rumi, Burujbooks, 2014: 51).

Karena itulah, Jalaluddin Rumi sendiri mengembangkan sufisme sastrawi-nya dengan jalan pemikiran mazhab Najmuddin Kubro. Walaupun sebagian pendapat mengatakan, Jalaluddin Rumi mengembangkan pemikiran sufistiknya sejalan dengan mazhab Ahmad al-Ghazali (w. 520 H./1125 M.). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait