Kenaikan PPN 12% Tuai Polemik, Pengamat: Negara Lain Malah Lebih Rendah

Kenaikan PPN 12% Tuai Polemik, Pengamat: Negara Lain Malah Lebih Rendah

Menanggapi ramainya pro dan kontra penerapan kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.-dok disway-

JAKARTA, DISWAY.ID - Berkaca dari negara lain, sejumlah negara menerapkan berbagai kebijakan tentang PPN. 

Seperti diketahui, rencana kenaikan PPN 12% masih menuai polemik yang bakal berlaku pada 1 Januari 2025 nanti.

Menurut keterangan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kenaikan PPN juga menciptakan efek domino pada perekonomian. 

BACA JUGA:PPN Naik 12% Mulai 2025, 5 Cara Menerapkan Frugal Living untuk Gaya Hidup Hemat

Ketika daya beli masyarakat melemah, konsumsi domestik, yang merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, akan menurun.

Penurunan ini tidak hanya berdampak pada sektor ritel, tetapi juga pada sektor-sektor lain di sepanjang rantai pasok, seperti manufaktur dan logistik. 

"Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dapat terhambat, dan target pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi pasca-pandemi bisa semakin sulit tercapai," kata Achmad ketika dihubungi oleh Disway pada Selasa 19 November 2024.

BACA JUGA:Pimpinan DPR RI: Pemerintah Tak Mungkin Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen Karena Waktu Sudah Mepet

Selain itu, Achmad juga menambahkan bahwa beberapa negara lain justru menetapkan tarif PPN yang lebih rendah untuk meringankan beban masyarakat dan mendukung daya saing ekonomi mereka. 

Malaysia, misalnya, hanya mengenakan tarif PPN sebesar 6 persen, jauh lebih rendah dibandingkan rencana Indonesia. 

Tidak hanya itu, Malaysia juga mengimplementasikan sistem Goods and Services Tax (GST) yang lebih fleksibel, memungkinkan pengecualian pajak pada barang-barang kebutuhan pokok. 

BACA JUGA:Kenaikan PPN 12 Persen Akan Diterapkan 1 Januari 2025, Pelaku Ritel Mulai Ketar-ketir

Singapura, meskipun memiliki tarif PPN sebesar 9%, menerapkan kebijakan pajak yang efisien dan memberikan kompensasi langsung kepada kelompok rentan untuk mengimbangi dampak kenaikan pajak. 

"Mengapa Indonesia tidak bisa meniru langkah-langkah ini? Salah satu alasannya adalah ketergantungan yang tinggi pada penerimaan pajak untuk membiayai defisit anggaran. Namun, alasan ini tidak cukup untuk membenarkan kebijakan yang memberatkan masyarakat luas," ujar Achmad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads