Industri Otomotif Butuh Tambahan Insentif

Industri Otomotif Butuh Tambahan Insentif

Industri otomotif membutuhkan tambahan insentif untuk menjaga kinerja penjualan 2025, seiring besarnya tantangan yang dihadapi, terutama dari kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dan penerapan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) serta-reza-

Oleh sebab itu, dia menyatakan, kelas menengah akan menentukan arah pasar mobil ke depan.

BACA JUGA:Apa Itu Ormas GRIB Jaya yang Bentrok dengan Pemuda Pancasila Blora, Ternyata Kenalan Presiden RI

BACA JUGA:Sejumlah Alat Berat Bersiaga di dekat Pagar Laut Misterius Perairan Bekasi, Begini Penjelasan UPTD Jabar!

Intinya, pasar mobil bakal menguat tajam jika Indonesia mencapai visi Indonesia 2045, yakni pendapatan nasional bruto per kapita bisa 30.300 dolar Amerika, pertumbuhan ekonomi 7-8 persen per tahun, dan populasi berpenghasilan menengah sebesar 80 persen. 

 Raden mencatat, relaksasi PPnBM pada tahun 2021 dan 2022 berhasil meningkatkan penjualan mobil. 

Insentif ini mendorong peningkatan permintaan terhadap input di sektor industri (backward linkage) serta peningkatan output di sektor otomotif (forward linkage). 

Sektor otomotif nasional, kata dia, mengalami pemulihan signifikan pada 2021, didukung oleh inisiatif pemerintah seperti subsidi PPnBM.

Penjualan mobil tahun 2021 meningkat lebih dari 300 ribu unit dibandingkan 2020, memberikan dampak positif pada industri suku cadang dan komponen.

Namun, setelah subsidi PPnBM dicabut pada 2023, penjualan mobil menurun hampir 40.000 unit dibandingkan 2022, menunjukkan tren penurunan yang berlanjut. 

BACA JUGA:Ini Pilihan Oli Terbaik Buat Yamaha Aerox Alpha Turbo, Awas Jangan yang Palsu!

BACA JUGA:Pilu, Sandy Permana Punya Kedai Bakso untuk Menyambung Hidup, Istri: Kalau Entertain Gak Berjangka Panjang

Insentif itu, kata dia, meningkatkan permintaan input di backward linkage sebesar Rp 36 triliun dan output forward linkage Rp 43 triliun.

Program PPnBM DTP melibatkan 319 perusahaan komponen tingkat 1, mendorong kinerja industri tingkat 2 dan 3, yang sebagian besar adalah IKM. 

Soal tren BEV dunia, dia meminta pemerintah menyesuaikan regulasi dan kemampuan beli masyarakat (affordability). Sebab, jika regulasi terlalu maju, ini akan mematikan industri. 

“Kita tak perlu ikuti negara lain. Indonesia harus menetapkan jalannya sendiri. Pemerintah perlu bersikap rasional dalam melihat keunggulan kompetitif dan keterbatasan yang ada,” ungkap dia. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads