Dampak Fiskal Bisa Capai Rp 26,4 Triliun, Ekonom INDEF Soroti Gugatan CMNP ke Hary Tanoe
Ekonom INDEF: Kasus CMNP vs Hary Tanoe Bisa Jadi Momentum Transparansi Pajak Korporasi---Dok. Istimewa
JAKARTA, DISWAY.ID - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ariyo DP Irhamna, menilai gugatan hukum senilai Rp 119,8 triliun yang diajukan oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) terhadap Hary Tanoesoedibjo berpotensi membawa dampak fiskal besar bagi negara.
Gugatan ini dilayangkan terkait transaksi Negotiable Certificate of Deposit (NCD) antara CMNP dan perusahaan milik Hary Tanoe, PT MNC Asia Holding Tbk (BHIT), yang terjadi pada tahun 1999.
Dalam transaksi tersebut, CMNP menerima NCD senilai 28 juta dolar AS, namun instrumen keuangan itu diklaim tidak dapat dicairkan. Kini, perkara tersebut sedang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
BACA JUGA:Setahun Prabowo-Gibran, INDEF Nilai Ekonomi Indonesia Stabil dan Terkendali
Potensi Tambahan Penerimaan Pajak Negara
Ariyo menjelaskan, apabila gugatan CMNP dikabulkan pengadilan, negara berpeluang memperoleh pendapatan pajak hingga Rp 26,4 triliun. Jumlah tersebut memang hanya sekitar 0,88 persen dari total APBN 2025 senilai Rp 3.005 triliun, namun tetap bernilai signifikan untuk memperkuat pembiayaan pembangunan nasional.
“Kalau dilihat dari target penerimaan perpajakan yang mencapai Rp 2.358 triliun, nilainya sekitar 1,1 persen. Meskipun tidak mengubah secara drastis posisi fiskal, Rp 26,4 triliun tetap angka besar yang bermanfaat bagi pembangunan,” ujar Ariyo di Jakarta, Jumat 31 Oktober 2025.
Potensi penerimaan pajak tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.105/PMK.03/2009, yang mengatur perlakuan pajak terhadap piutang yang telah dihapus buku (write-off) dan kemudian berhasil dipulihkan kembali.
Aturan PMK dan Konteks Pajak
Menurut Ariyo, regulasi tersebut menyebutkan bahwa piutang yang dinyatakan tidak tertagih bisa dikurangkan dari penghasilan bruto. Namun, jika di kemudian hari piutang itu berhasil ditagih kembali, maka hasilnya wajib dilaporkan sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif badan yang berlaku.
“Intinya, bila CMNP berhasil memulihkan nilai NCD tersebut, hasilnya wajib masuk sebagai pendapatan kena pajak. Inilah potensi besar bagi penerimaan negara,” jelasnya.
BACA JUGA:Jurus Menkeu Purbaya Soal Cukai Tembaku Buat Petani Lega, INDEF: Demi Pemulihan Industri
Preseden Penting untuk Kepatuhan Pajak
Ariyo menilai perkara antara CMNP dan Hary Tanoe dapat menjadi preseden penting bagi transparansi dan kepatuhan pajak korporasi publik di Indonesia. Jika pengadilan memenangkan CMNP, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki dasar kuat untuk melakukan peninjauan kembali terhadap pelaporan pajak perusahaan yang terlibat.
“Kasus seperti ini bisa memicu audit forensik, terutama untuk menelusuri kapan piutang dihapus, dasar akuntansi, serta pencatatan cadangan kerugian,” tegasnya.
Ia menambahkan, sengketa yang melibatkan perusahaan terbuka seperti CMNP dan MNC Asia Holding juga dapat menjadi momentum memperkuat pengawasan dan tata kelola di sektor korporasi. Auditor eksternal dan dewan komisaris diharapkan lebih cermat dalam menilai transaksi besar yang berisiko terhadap kepatuhan pajak.
“Ini bisa menjadi ‘audit trigger’ yang mendorong transparansi lebih baik di sektor keuangan nasional,” kata Ariyo.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: