Observo Center Dukung Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Sudahlah, Saatnya Berdamai dengan Sejarah

Observo Center Dukung Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Sudahlah, Saatnya Berdamai dengan Sejarah

ILUSTRASI Refleksi Kejatuhan Soeharto (21 Mei 1998–21 Mei 2025): Pelajaran Politik dari Soeharto.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

JAKARTA, DISWAY.ID - Direktur Observo Center, Muhammad Arwani Deni, menilai bangsa Indonesia perlu belajar berdamai dengan sejarah dan menghormati jasa setiap pemimpin yang pernah mengabdi untuk negeri ini.

Pernyataan itu disampaikan menanggapi sikap Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

BACA JUGA:Aktivis Papua Nilai Soeharto Layak Dapat Gelar Pahlawan: Jangan Wariskan Luka Politik

BACA JUGA:Semringah! 23 Tahun Berlalu, Mbak Tutut dan Hary Tanoe Capai Kesepakatan Soal TPI

Menurut Arwani, penilaian terhadap figur nasional semestinya tidak dilakukan dengan kacamata personal, melainkan dengan pandangan objektif terhadap kontribusi yang telah diberikan kepada bangsa dan negara.

“Siapapun tokohnya, termasuk Soeharto pasti punya sisi gelap. Tapi beliau juga punya jasa besar bagi negeri ini. Kalau bangsa ini terus menimbang sejarah dengan perasaan, bukan dengan kebijaksanaan, kita tak akan pernah maju,” ujar Arwani dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu, 8 November 2025. 

Ia menilai, jasa Soeharto dalam menjaga stabilitas politik, memperkuat kedaulatan ekonomi, dan meletakkan fondasi pembangunan nasional merupakan bagian dari sejarah yang tidak bisa dihapus.

Arwani menegaskan, memberi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan berarti menutup mata terhadap kekurangan masa pemerintahannya, melainkan bentuk penghormatan atas kontribusi nyata terhadap bangsa.

BACA JUGA:Kelas! Hotman Paris Semringah dengar Penjelasan Transaksi NCD: Saksi Ahli CMNP Justru Menguntungkan Kami

“Bangsa besar tidak menafikan luka, tetapi juga tidak melupakan jasa. Pengakuan terhadap Soeharto adalah bentuk kedewasaan bernegara,” katanya.

Menanggapi alasan Megawati yang menyinggung kesulitan pemakaman Presiden Soekarno di Taman Makam Pahlawan pada masa pemerintahan Soeharto, Arwani menyebut hal itu adalah pengalaman emosional yang manusiawi. Namun, menurutnya, kepentingan negara tidak bisa diukur dengan pengalaman pribadi.

“Kalau dendam pribadi dijadikan ukuran kebangsaan, nanti setiap keluarga mantan presiden bisa saling menolak. Padahal, Indonesia bukan negara dendam, tapi negara yang menjunjung perdamaian dan kebijaksanaan,” ucapnya. 

Arwani juga mengingatkan, hampir semua partai politik di Indonesia selalu menyerukan rekonsiliasi nasional dan perdamaian sosial. Karena itu, ia menilai perdebatan soal gelar pahlawan nasional seharusnya tidak menjadi alat reproduksi luka sejarah.

“Bukankah semua partai politik bicara soal perdamaian dan persatuan? Maka, konsistensi itu harus diwujudkan, bukan hanya diucapkan,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads