Belajar Tasawuf dari Abu Darda’
KH Imam Jazuli Lc--
SUFISME Islam bagaikan oasis di padang sahara, yang tidak henti-hentinya memancarkan mata air hikmah dan kebijaksanaan bagi setiap manusia dari berbagai profesi. Salah satunya dicontohkan oleh kehidupan Abu Darda' al-Anshori (w. 652 di Damaskus). Sebelum memilih mengabdikan akhir hayatnya untuk beribadah, Abu Darda' adalah seorang pengusaha sukses. Dengan begitu, usahawan memiliki figur seperti Abu Darda’ dalam menjalankan suluk.
Abu Darda' semula telah berusaha keras untuk memadukan antara bisnis dan ibadah, namun selalu gagal. Pada akhirnya, ia memilih untuk meninggalkan bisnisnya dan menghabiskan usia untuk ibadah. Abu Darda' sangat tepat dijadikan suri tauladan di era kontemporer ini, mengingat betapa sering kita mendengar kabar para pengusaha yang melakukan suap-menyuap dan berkongkalikong dengan para anggota dewan. Artinya, bisnis mereka tidak bisa dijalakan di atas aturan syariat agama.
BACA JUGA:Sufisme Islam dan Hadits-Hadits Nabi
Salah satu ucapan Abu Darda' yang terkenal adalah: beribadahlah seakan kalian melihat Allah, hitunglah usiamu dengan kematian. Ketahuilah, sedikit harta tapi membuat kalian cukup jauh lebih baik dari pada banyak harta tapi mencelakakan kalian. Ketahuilah, kebaikan tidak akan musnah dan dosa tidak akan terlupakan (Ibnu Sa'd az-Zuhrni, at-Thabaqat al-Kubra, 1958: 7/391-393).
Ucapan Abu Darda’ di atas tampak menjadi sebuah keniscayaan, mengingat betapa banyak pengusaha yang gagal menyelematkan diri karena ambisi menumpuk harta, sehingga menghalalkan segala cara. Banyak pengusaha belakangan ini yang ditangkap Bareskim Polri dan KPK. Itulah harta yang banyak namun mencelakakan menurut Abu Darda’. Karena ingin mengejar untung yang besar, mereka memilih melakukan tindakan korupsi dan suap-menyuap.
Apalagi sekarang kita diatur oleh Pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHP. Dengan aturan tersebut, masa kadaluwarsa pidana korupsi adalah enam tahun (hukumonlien, 5/Oktober/2018). Ini artinya, kejahatan tidak akan terlupakan, minimal 6 tahun ke depan sejak melakukan korupsi. Betul apabila Abu Darda’ mengingatkan bahwa kejahatan tidak akan terlupakan.
Selain itu, Abu Darda’ juga pribadi yang terkenal suka berpikir mendalam dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Hal itu sesuai dengan bunyi sebuah hadits marfu’ dari Anas ra., Rasulullah SAW bersabda: “berpikir sesaat tentang pergantian malam dan siang lebih baik dari ibadah delapan puluh tahun,” (Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur, 3/191).
Pada suatu hari, Abu Darda’ kedatangan saudaranya, Salman al-Farisi. Rasulullah SAW sejak awal hijrah ke Madinah menjadikan Abu Darda’ sebagai saudara Salman. Setibanya di rumah Abu Darda', Salman bertemu dengan Ummu Darda', istri Abu Darda'. "Bagaimana kabarmu," tanya Salman. "Saudaramu itu tidak punya keinginan pada dunia, malam sholat, siang berpuasa," jawab Ummu Darda'.
Salman lalu beranjak dan mendekati Abu Darda', memberikannya makan. "Makanlah," kata Salman. "Aku berpuasa," jawab Abu Darda'. "Aku berbagi denganmu agar kamu makan," pinta Salman. Abu Darda' akhirnya mau makan. Salman lalu menginap di rumah Abu Darda', ketika malam tiba, Abu Darda' ingin sholat malam, tapi Salman Al-Farisi melarangnya.
Salman kemudian menjelaskan, "Tubuhmu punya hak, Tuhanmu punya hak, keluargamu punya hak. Berpuasalah dan makanlah. Sholatlah dan datangi keluargamu. Berikanlah hak kepada setiap yang berhak." Setelah subuh tiba, Salman berkata: “ayo sekarang sholat.” Abu Darda’ pun sholat. Selesai sholat, Abu Darda’ menghadap Nabi dan mengisahkan perintah Salman. Jawaban Rasulullah SAW pun sama dengan apa yang disampaikan Salman al-Farisi (HR. At-Tirmidzi).
Dari kisah di atas, Abu Darda’ digambarkan tidak saja ahli ibadah, tetapi juga selalu mencari hikmah dan belajar dari setiap kejadian. Ia mengikuti apa yang dikatakan saudaranya seiman, Salman al-Farisi, dan keesokan harinya berusaha mengklarifikasinya pada Rasulullah SAW secara langsung. Pertama, menghormati saudara seiman, dan kedua, belajar agama Islam.
Walaupun Abu Darda’ adalah seorang sahabat, tetapi ia tidak segan untuk belajar dari saudaranya. Hal ini mengajarkan pada kita semua bahwa siapapun orangnya jika memang lebih berpengetahuan tentang agama, maka sudah sepantasnya kita belajar. Demikian itu yang dicontohkan oleh kaum Sufi dari kalangan sahabat. Abu Darda’ adalah pribadi yang tekun dalam berpikir, merenungi kebesaran Allah, dan mengambil hikmah dari setiap kejadian.
Seorang sufi bukan lantas orang yang hanya beribadah tanpa mau belajar dan menuntut ilmu, hanya dengan anggapan dirinya sedang menanti ilham dari Tuhan. Abu Darda’ adalah seorang sufi, mantan seorang saudagar, anggota dari Ahlus Suffah, tetapi ia masih berusaha untuk menambah pengetahuan keagamaannya, dengan mengikuti perintah Salman al-Farisi, dan mengonfirmasinya pada Rasulullah SAW.
Belajar ilmu sama pentingnya dengan beribadah. Bahkan, ibadah yang tidak didasari ilmu maka ia akan sia-sia dan batal. Dalam kisah di atas, Abu Darda’ memang lebih banyak beribadah, tetapi Salman al-Farisi lebih banyak pengetahuannya. Karena itulah, Salman memberikan nasehat agar Abu Darda’ memenuhi hak secara proprosional; hak Tuhan, hak anak dan hak keluarga, bahkan hak tubuh diri sendiri. Dan pendapat Salman al-Farisi itu disetujui oleh Rasulullah SAW. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: