Ibnu Arabi, Pengajar Cinta Kasih di Tengah Konflik

Ibnu Arabi, Pengajar Cinta Kasih di Tengah Konflik

KH Imam Jazuli Lc--

DI TENGAH kecamuk Perang Salib (abad 11-17 M.) antara umat Kristen dan Muslim, lahir seorang sufi besar di Murcia, Spanyol, bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Arabi pada tanggal 28 Juli 1165, yang dikenal dengan sebutan Syikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi. Ibnu Arabi lahir satu tahun sebelum wafatnya Syeikh Abdul Qadir Jailani (w. 1166). Dan ia wafat pada tanggal 16 November 1240.

Ibnu Arabi adalah sufi besar yang kontroversial. Ada banyak tokoh yang mendukung, menentang, dan diam tidak berkomentar tentang ajarannya. Beberapa tokoh yang mendukung ajaran Ibnu Arabi antara lain: Ibnu Hajar al-Haitami, Abdul Wahab as-Sya'rani, Fairuz Abadi, Syihabuddin As-Suhrawardi, Ahmad al-Muqri al-Maghribi, Ibnu Kamal Basya, Ibnu Abidin al-Hanafi, dan Abdul Ghani an-Nabilsi.

BACA JUGA:Najmuddin Kubro: Dakwah Islam dan Perlawanan terhadap Kolonial Mongol

Sebaliknya, beberapa tokoh yang menentang ajaran Ibnu Arabi antara lain: Al-Hafizh Adz-Dzahabi, Ibnu Taimiah, Ibnu Khaldun, Abu Zar'ah al-Iraqi, Taqiyuddin As-Subki, ‘Izzu bin Abdussalam, dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Sedangkan beberapa tokoh yang lebih memilih diam dari berkomentar antara lain: Syarfuddin al-Manawi dan asy-Syaukani.

Dalam mazhab fikih, Ibnu Arabi pada mulanya mengikuti Mazhab Daud al-Zhahiri, sebelum kemudian memilih untuk berijtihad sendiri (Shaluhuddin Khalil bin Aibak as-Shafadi, Al-Wafi bi al-Wafiyat, Dar Ihya' al-Turats Beirut, 2000). 

Selain itu, Ibnu Arabi juga dikenal sebagai sufi yang banyak melakukan perjalanan, antara lain ke: Granada (Spanyol), Damaskus dan Aleppo (Suriah), Makkah dan Madinah (Arab Suadi), Mosul dan Baghdad (Irak), Kairo (Mesir), Konya (Turki), Armenia. Perjalanan ini tidak beruruat, tetapi terjadi dengan bolak-balik. Tidak heran, pengalaman luas ini membuka cakrawala intelektual Ibnu Arabi, sehingga membuatnya kontroversial.

Salah satu ajaran Ibnu Arabi adalah tentang tauhid. Ibnu Arabi menjelaskan tauhid sebagai berikut:

“... wahai saudara-saudariku dan orang-orang yang aku sayangi, semoga Allah ridha pada kalian semua. Aku bersaksi di hadapan kalian bahwa aku ini adalah hamba yang lemah, miskin, dan fakir pada Allah swt dalam setiap langkah dan kedipan mata. Aku bersaksi pada kalian atas diriku, setelah bersaksi atas Allah dan malaikat-Nya, dan di hadapan orang-orang mukmin, bahwa Nabi mengatakan kata-kata yang benar, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, tidak ada tuhan yang kedua. 

Ketuhanan Allah suci dari memiliki pasangan maupun anak. Dia adalah Raja yang tidak ada yang menyertainya dalam kekuasaan, tidak ada menteri yang menolongnya. Dia adalah Pencipta, tak ada pihak lain yang ikut mengatur bersama-Nya. Dia ada dengan sendiri-Nya, dan tidak butuh pada yang menciptakan-Nya. Sebaliknya, seluruh makhluk yang ada selain diri-Nya butuh pada-Nya dalam wujudnya. 

Alam semesta ini ada karena-Nya. Dia adalah satu-satunya yang berhak memiliki sifat Wujud (ada). Dia bukan jauhad yang butuh pada tempat, bukan pula 'Aradh (yang selalu berubah) sehingga mustahil menjadi abadi. Dia bukan jisim yang memiliki arah. Dia Mahasuci dari berbagai arah. Namun, Dia dapat dilihat melalui mata hati…” (Abdul Baqi Miftah Muhammad al-Sholih al-Dhawi, Mawsu'ah al-Mafahim al-Akbariah min Khilal Muqoddamah al-Futuhat al-Makkiyah li Ibn Arabi, 2016: 287).

Selain tauhid, Ibnu Arabi juga mengajarkan tentang konsep Insan Kamil. Dalam kitabnya Fushus al-Hikam,, Ibnu Arabi menyebut Nabi Adam as sebagai Insan Kamil (manusia sempurna), yang penciptaannya sangatlah murni (Coeli Fitzpatrick dan Adam Hani Walker, “Muhammad in History, Thought, and Culture,” Santa Barbara, California: ABC-CLIO, 2014: 440).

Insan Kamil ini berkaitan erat dengan keesaan Tuhan, di mana Tuhan menjadikan Insan Kamil sebagai cermin-Nya. Insan Kamil adalah cermin Tuhan, dan melihat Insan Kamil seperti melihat Tuhan (John T. Little, "Al-Insān Al-Kāmil: The Perfect Man According To Ibn Al-'Arab?", The Muslim World, (January 1987), Vol. 77, No. 1: 43–54). 

Sedangkan mengenai keberadaan Tuhan, Ibnu Arabi mengatakan bahwa Tuhan ada di dalam Insan Kamil, sehingga tidak ada pemisah antara Tuhan dan manusia. Tanpa ada Allah, maka mustahil manusia ada. Di sanalah ada Keesaan absolut. Dengan mencari hakikat keesaan ini di dalam diri manusia, maka seseorang akan sampai pada Allah (John T. Little,  1987).

Ajaran Ibnu Arabi tentang Wahdatul Wujud atau Insan Kamil yang dirinya menampung Allah mendapat penolakan keras dari para pengkritiknya. Misalnya, Ibnu Taimiah mengatakan, Ibnu Arabi pengarang Fushus al-Hikam ini terkadang terlalu banyak berimajinasi tentang Tuhan, dan terkadang pula lebih banyak membicarakan kebatilan. Allah lebih tahu Ibnu Arabi itu mati dalam agama apa (Ibnu Taimiah, Majmu' al-Fatawa, 2011: 1/21).

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads