Ahli Keuangan Jadi Saksi Ahli di Sidang Kasus Anak Usaha Telkom: Tidak Ada Kerugian Negara Karena Nilainya Tak Pasti

Ahli Keuangan Jadi Saksi Ahli di Sidang Kasus Anak Usaha Telkom: Tidak Ada Kerugian Negara Karena Nilainya Tak Pasti

Gedung Telkom HUB di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan-Dok. Telkom Landmark Tower -

Dalam BAP, terlihat langkah yang dilakukan Umar Syahid, dengan cara mendapatkan eviden hasil pemeriksaan dari penyidik Kejari Jakarta Barat, berupa dokumen proyek Quartee, dokumen laporan hasil audt investigasi proyek Quartee berita acara pemeriksaan saksi-saksi, dan melakukan analisa atas hasil audit investigasi, antara lain, temuan terkait penyimpangan dan pelaku proses. 

BACA JUGA:Kuasa Hukum Terdakwa Kasus Korupsi Anak Usaha Telkom Kesal, Hakim Diminta Tak Bicara di Luar Konteks

“Padahal dalam SPKN dijelaskan bahwa dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa harus bersikap independen, tidak boleh memihak, serta tidak dipengaruhi oleh siapapun. Selain bersikap independen, pemeriksa juga harus obyektif, maksudnya disini, pemeriksa harus melakukan pengujian dengan melakukan konfirmasi dan klarifikasi atas permasalahan yang sedang diuji. Pemeriksa tidak hanya melakukan pemeriksaan secara on desk,” ujar Eko.  

Berdasarkan salinan BAP Umar Syahid, dapat terlihat, saksi tidak melakukan pengujian dengan cara konfirmasi dan klarifikasi, tetapi hanya mempelajari dokumen secara on desk. 

“Hal ini dapat diketahui dari laporan hasil pemeriksaan yang dibuatnya, yang mengatakan, bahwa dari penelaahan atas indikasi penyimpangan dan kecurangan perjanjian Kerjasama fiktif antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra, dan PT. Infomedia Nusantara. Hal tersebut sangat bertentangan dengan pernyataan standar pemeriksaan 300 standar pelaporan pemeriksaan A4 yang menyatakan LHP harus obyektif, dimana pemeriksa harus menyajikan LHP secara seimbang, tidak memihak dan sesuai dengan fakta yang ditemui di lapangan,” ungkap Eko. 

Karena tidak bersikap obyektif dalam melaksanakan pemeriksaan, mengakibatkan LHP yang dibuat pemeriksa, menjadi tidak dapat diyakini kebenarannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ditambahkannya, dalam BAP Umar Syahid, sebagai ahli dalam melakukan pemeriksaan perhitungan keuangan negara, juga tidak menjelaskan peraturan dan undang-undang apa yang digunakan, sebagai kriteria untuk mengukur terjadinya penyimpangan. 

BACA JUGA:Lapor ke Jamwas, Kejagung Diminta Turun Tangan Tertibkan Jaksa dalam Perkara Kasus Korupsi Anak Usaha Telkom

“Serta ahli juga tidak menjelaskan standar apa yang dijadikan pedoman dalam menguji atas permasalahan yang sedang diperiksa. Hal ini menunjukkan bahwa Umar Syahid sebagai ahli pemeriksaan perhitungan kerugian negara tidak profesional,” tukas Eko. 

Dalam BAP Umar Syahid, sebagai ahli dalam proses audit yang melakukan perhitungan keuangan negara secara on desk dengan auditor lain, menyatakan, bahwa dari hasil audit investigasi dan penelaahan terhadap perjanjian kerjasama fiktif antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra, dan PT. Infomedia Nusantara, terdapat penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara sebilai Rp. 236.171.580.669,-. 

Sedangkan dalam BAP I Made Surya Wirawan, yang pernah melakukan audit investigasi dalam kasus yang sama, menyimpulkan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp. 126.837.082.358,-. 

Dalam UU No.1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara, dalam Pasal 1 ayat 22, kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 

BACA JUGA:Telkom Optimis Kinerja Tahun Buku 2023 Terjaga dan Tumbuh Positif

“Dari undang undang tersebut diharuskan bahwa kerugian negara itu harus nyata dan pasti. Namun dari dua ahli yang pernah melakukan audit investigasi menyimpulkan nilai kerugian negara dengan jumlah yang berbeda, masing masing ahli menyimpulkan besarnya kerugian negara yang berbeda. Sehingga tidak ada kerugian negara, hal ini disebabkan karena nilai kerugian negara tidak nyata dan pasti,” ujar Eko.

Ditegaskannya, yang namanya kerugian negara, harus nyata dan pasti. Karena jumlah kerugian sudah dihitung melalui proses audit yang disahkan BPK

“Harus ada angka yang pasti, harus ada angka yang dikeluarkan oleh auditor yang mengaudit. Apabila terdapat dua angka dalam audit tidak dapat dinyatakan nyata dan pasti. Karena angka tidak pasti, berarti tidak ada kerugian negara,” ujar Eko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: