Tak Dilibatkan dalam Proses Revisi KUHAP, KPK Bersurat ke Presiden dan Ketua DPR

KPK berencana bersurat ke DPR dan Presiden Prabowo Subianto usai tak dilibatkan dalam proses Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)-Disway.id/Ayu Novita-
Sembari menunggu undangan audiensi, Imam menuturkan KPK sudah merumuskan kajian untuk mengidentifikasi sejumlah poin bermasalah dalam draf RKUHAP. KPK menggandeng sejumlah pakar dalam pekerjaan tersebut.
“Penting kiranya KUHAP itu juga menyinkronisasi dengan hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya oleh lex specialis Undang-undang KPK," tuturnya.
BACA JUGA:RUU KUHAP Disahkan Masuk Prolegnas 2025, Komisi III DPR Jamin Transparansi
"Karena di satu sisi politik hukum KUHAP itu sudah mengakui, sudah mengakomodir konsep lex specialis-nya tindak pidana korupsi bersama tindak-tindak khusus lainnya. Maka, sudah seharusnya KUHAP menggendong semangat yang sama,” ucap Imam.
Imam menerangkan bahwa tim pengkaji menemukan setidaknya 17 permasalahan. Salah satu poin yang dikhawatirkan adalah RKUHAP mengeliminasi asas lex specialis sebagaimana yang berlaku hingga kini.
“Kemudian Pasal 327 itu punya potensi dimaknai penyelesaian penanganan perkara itu hanya bisa dengan hukum acara pidana biasa, sedangkan yang ditangani oleh KPK kan merujuk pada Undang-undang KPK,” imbuhnya.
Kekhawatiran lain mengenai penyelidikan yang berpotensi menjadi tidak independen.
"Contoh misalkan rumusan Pasal 20, dalam melaksanakan penyelidikan harus dikoordinasikan, diawasi dan diberi petunjuk oleh Polri," jelasnya.
"Nah, tentu ini menjadi pertanyaan dan tantangan, apakah memang ini yang diharapkan oleh perumus undang-undang?" kata Imam.
Terlebih dalam Pasal 44 UU KPK yang sejalan atau telah dikuatkan oleh putusan MK, tahap penyelidikan di KPK telah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.
Namun, dalam Pasal 1 angka 25 RKUHAP, patokan waktu penetapan tersangka ditentukan setelah penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti.
Dengan kata lain, dua alat bukti untuk penetapan tersangka dibatasi hanya yang diperoleh penyidik.
“Demikian juga berkaitan dengan kewenangan penyelidikan maupun penuntutan. Harus diingat bahwa KPK juga mempunyai kewenangan koordinasi dan supervisi penanganan perkara. Kalau di satu sisi KUHAP mengatur kewajiban koordinasi, di sisi lain Undang-undang KPK sudah diberi kewenangan koordinasi dan supervisi. Ini menjadi bertolak belakang,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Sahel Al Habsyi menyatakan sejumlah ketentuan yang termuat dalam Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) berpotensi melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
“Memang RKUHAP itu potensial bermasalah. Potensial melemahkan pemberantasan korupsi oleh KPK,” kata dia.
Sejumlah Pasal Bermasalah
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: