Status Pulau Rempang Bukan Tanah Adat Diungkap Pakar Hukum Pertanahan, Pengamat Kebijakan Publik: Janji Kampanye Presiden 2019 Jadi Bumerang

Status Pulau Rempang Bukan Tanah Adat Diungkap Pakar Hukum Pertanahan, Pengamat Kebijakan Publik: Janji Kampanye Presiden 2019 Jadi Bumerang

Ilustrasi peta Pulau Rempang-googleearth-

Tidak Ada Istilah Tanah Negara

Selain itu Tjahyo juga mejelaskan bahwa tidak adanya istilah tanah milik negara karena yang ada adalah adanya milik pemerintah sebagai pengelola negara.

Semua wilayah Batam direncanakan akan menjadi milik pemerintah dibawah pengelolaan BP Batam, di mana BP Batam diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

BACA JUGA:Di Hadapan Presiden, PLN Paparkan Konsep Transisi Energi Menuju COP28 Pada Acara Puncak Festival LIKE 2023

BACA JUGA:Simak Rincian Angsuran Pinjaman KUR BRI Plafon Rp100 Juta, Lumayan Buat Dongkrak Bisnis Kuliner!

“Jadi bila BP Batam itu mengajukan kerjasama dengan investor, maka investor akan dapat Hak Guna Bangunan (HGB) diatas HPL, artinya pemilik tanah tetap pemerintah dalam hal ini wilayah Batam,” jelasnya.

Sedangkan Agus Pambagio selaku Pengamat Kebijakan Publik menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Menurut Agus sebaiknya Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data atas kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih.

"Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2000 an, kemudian banyak yang mencari tanah disana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," terang Agus.

BACA JUGA:Ajak Milenial dan Gen Z Melek Finansial, Pegadaian Luncurkan Web Series Ali yang Terheran Herman

BACA JUGA:Wahana Honda Manjakan 100 Konsumen Setia, Dalam Rangka Rayakan Hari Pelanggan Nasional

Agus mengatakan bahwa perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama sekitar Tahun 2000-an. 

Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan itu dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.

"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka ngga punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," ungkapnya.

Bahkan Agus menyebut bahwa secara legal, tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat.

"Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara masyarakat harus pergi," imbuhnya.

BACA JUGA:BRI Sediakan Layanan Digital Customer Service, Anti Ribet dalam Bertransaksi

BACA JUGA:Pakar Hukum Pertanahan: 'Pulau Rempang Bukan Pemukiman Tanah Adat, Tapi Kawasan Hutan!'

Masalah konflik agraria itu menjadi bumerang bagi masyarakat terkait adanya statement janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2019 lalu yang disebut akan memberikan sertifikat kepada masyarakat.

"Tadi saya lihat ada program kalo presiden kampanye pada tahun 2019 bahwa janji kasih sertifikat kaya gitu lho, dan itu tidak dikomunikasikan dengan baik," lanjutnya.

Ketika investor ingin membangun lahan tersebut menjadi terhambat karena kurangnya data studi sosial antropologi.

Menurutnya, dalam hal ini pemerintah tak mengkaji terkait dengan studi ilmu sifat manusia dan lain sebagainya.

Agus juga menduga adanya konflik kepentingan dibalik permasalahan agraria yang ada di Pulau Rempang. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: