PPDS Unpad Bius Korban RSHS Bandung, Dapat Obat Dari Mana? Pengamat Sarankan Audit

PPDS Unpad Bius Korban RSHS Bandung, Dapat Obat Dari Mana? Pengamat Sarankan Audit-dok disway-
JAKARTA, DISWAY.ID-- Residen program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) menjadi tersangka kasus kekerasan seksual keluarga pasien ICU di RS Hasan Sadikin, Bandung.
Diketahui, dokter berinisial PAP (31 tahun) tersebut menggunakan obat bius untuk melumpuhkan korban dan melancarkan aksinya ketika korban tidak sadarkan diri.
BACA JUGA:Dokter PPDS Wajib Tes Kejiwaan Berkala, Buntut Kasus Pelecehan Seksual di RSHS
BACA JUGA: MenPPPA Ungkap Ancaman Pidana Pelecehan PPDS Unpad di RSHS Bandung Bisa Ditambah
Hal ini memicu pertanyaan bagaimana ia bisa memperoleh obat-obatan anestesi tersebut.
Pasalnya, obat anestesi termasuk dalam kategori high alert medication, yakni obat yang berisiko tinggi menyebabkan cedera serius atau kematian jika digunakan secara tidak tepat.
"Karena itu, pengelolaannya harus ketat, transparan, terdokumentasi, dan terbatas hanya untuk tenaga medis yang berwenang," ungkap pengamat manajemen kesehatan dr Puspita Wijayanti, MMRS dalam keterangannya, dikutip 11 April 2025.
Dijelaskannya, pemerintah Indonesia sendiri juga telah meregulasi terkait penggunaan obat anestesi.
BACA JUGA:Maman Imanul Haq Desak Gelar Dokter PPDS Pemerkosa di RSHS Dicabut: Kariernya Harus Selesai!
Sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 72 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kefarmasian di RS, obat-obatan high-alert harus disimpan dalam sistem tertutup dan diberi label khusus.
"Penggunaannya melibatkan verifikasi ganda serta dokumentasi lengkap dalam logistik dan rekam medis pasien," terangnya.
Kemudian pada Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/1596/2024 tentang Standar Akreditasi RS, tertuang dalam elemen PKPO 3.1.1 - 3.1.2 bahwa RS wajib menerapkan sistem distribusi dan pengawasan yang berbasis risiko tinggi, termasuk audit berkala, pengawasan farmasis klinik, dan kontrol akses elektronik.
Ada pula UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
BACA JUGA:Mahasiswa PPDS Unpad Lecehkan Pasien RSHS Bandung, Kemendiktisaintek: Penyimpangan yang Parah
BACA JUGA:Buntut Kasus Pemerkosaan di RSHS Bandung, Kemenkes Bekukan PPDS Anestesi Sebulan
"Sebagian obat anestesi dikategorikan sebagai obat keras dan narkotika tertentu, yang penggunaannya tanpa izin atau tanpa indikasi dapat dikenai sanksi pidana," cetusnya.
Sementara berdasarkan standar internasional, seperti Joint Commission International (JCI) dan pedoman Institute for Safe Medication Practices (ISMP), turut ditegaskan bahwa obat-obatan seperti anestesi hanya boleh diakses melalui akses terbatas, bersertifikasi, dan bisa dilacak (traceable).
Pedoman tersebut menekankan pentingnya pengawasan farmasis dan pembimbing klinik, khususnya dalam konteks rumah sakit pendidikan.
"Jika obat anestesi bisa keluar dari sistem distribusi resmi dan digunakan tanpa supervisi, maka itu bukan hanya kelalaian individu. Itu adalah tanda kegagalan struktural dari tata kelola obat, sistem pelaporan, hingga pengawasan klinis," tandasnya.
BACA JUGA:Residen PPDS Anestesi Unpad Diduga Lecehkan Penunggu Pasien RSHS Bandung: Kami Berhentikan
BACA JUGA:Unpad Bongkar Fakta! Hanya 1 PPDS Pelaku Kekerasan Seksual di RSHS Bandung, Bukan 2
Maka dari itu, ia menggarisbawahi dalam kasus ini bahwa PPDS yang berstatus peserta didik tidak seharusnya memiliki akses bebas terhadap obat anestesi, apalagi menggunakannya di luar kerangka pelayanan pasien yang sah.
"Apabila hal itu terjadi, maka ada dua pelanggaran besar: akses tidak sah terhadap obat berisiko tinggi, dan penggunaan tanpa otorisasi klinis," katanya.
Maka dari itu, ia menyarankan agar sistem pengelolaan obat di RS pendidikan diperkuat.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan mulai dari audit menyeluruh sistem logistik anestesi dan obat risiko tinggi berbasis teknologi (e-logbook, sistem fingerprint/OTP).
BACA JUGA:Viral PPDS Unpad Lecehkan Penunggu Pasien RSHS Bandung Setelah Dibius, Kemenkes Beri Sanksi Tegas
BACA JUGA:Viral Pengidap Kanker Stadium 4 Meninggal Karena Petugas Lalai, Ini Penjelasan RSHS Bandung
"Pembatasan akses hanya untuk tenaga medis definitif yang sudah tersertifikasi dan terverifikasi digital, penerapan sistem re-check farmasi oleh dua pihak untuk setiap pengeluaran obat risiko tinggi."
Kemudian penegakan kewajiban pendampingan klinis bagi peserta didik yang menjalankan tindakan medis, termasuk dalam penggunaan obat.
"Obat bukan sekadar barang medis. Ia bisa menjadi alat kekuasaan, ancaman, bahkan senjata jika sistem gagal menjaganya," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: