Gaji Dipotong 3% Tapera, PKS Sebut Sulitnya Kelas Menengah saat Bayar Cicilan Rumah

Gaji Dipotong 3% Tapera, PKS Sebut Sulitnya Kelas Menengah saat Bayar Cicilan Rumah

Gambaran perumahan yang dibangun menggunakan dana Tapera.--BP Tapera

JAKARTA, DISWAY.ID – Gaji pegawai swasta bakal dipotong 3% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) agar masyarakat punya rumah.

Meski begitu, bagaimana nanti dengan mekanisme cicilannya?

Apakah kelas menengah sanggup membayar cicilan tiap bulan?

BACA JUGA:Pengamat Senior INDEF Desak Desain Ulang Skema TAPERA: Gak Masuk Hitungannya!

Dikutip dari laman resmi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) , Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama merespon upaya Pemerintah memperbarui aturan mengenai iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), melalui revisi PP No. 25/2020 menjadi PP No. 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 20 Mei 2024.

Berdasarkan aturan tersebut, ada dua kategori Peserta Tapera, yaitu Pekerja dan Pekerja Mandiri. Diwajibkan yang berpenghasilan paling sedikit sebesar Upah minimum untuk menjadi Peserta Tapera.

Sedangkan yang berpenghasilan di bawah Upah minimum tidak wajib, tapi dapat menjadi Peserta.

Batas usianya minimal 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar. 

BACA JUGA:KSBSI Keberatan Jika Tapera Dibebankan Kepada Pekerja

Aturan soal pemotongan gaji karyawan untuk Tapera sebenarnya merupakan aturan sejak 2020.

Besaran Simpanan Peserta Tapera yang ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah Peserta Pekerja, yaitu 0,5% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 2,5% ditanggung oleh Pekerja itu sendiri.

Sedangkan Besaran Simpanan Peserta Tapera sebesar 3% Penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri atau pekerja yang tidak bergantung pada Pemberi Kerja untuk mendapatkan Penghasilan, semisal petani, seniman, pedagang, atau ojol ditanggung sendiri secara penuh oleh Pekerja Mandiri.

Perbedaan yang signifikan ada pada Pasal 15 ayat (5a), yaitu dasar perhitungan untuk menentukan perkalian besaran Simpanan Peserta Pekerja Mandiri dihitung dari penghasilan yang dilaporkan, dan pada Pasal 15 ayat (4) huruf d, diatur oleh BP (Badan Pengelola) Tapera.

Selain itu, pada Pasal 15 ada perbedaan dari PP sebelumnya, yaitu dasar perhitungan untuk menentukan perkalian besaran Simpanan Peserta Pekerja, yaitu pekerja/buruh BUMN (badan usaha milik negara), BUMD (badan usaha milik daerah), BUMDes (badan usaha milik desa), dan badan usaha milik swasta sekarang semuanya diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan, sebelumnya oleh Kementerian terkait.

BACA JUGA:Polemik Kebijakan Tapera Bikin Banyak Pihak Marah, Moeldoko: Beri Kesempatan Pemerintah untuk Bekerja

Adanya ketentuan baru ini, kata Suryadi, menyebabkan aturan Tapera ini tentunya akan memiliki dampak yang sangat luas. Banyak orang akan terkena aturan ini.

“Oleh sebab itu FPKS perlu memberikan beberapa catatan agar adanya aturan ini memberikan manfaat seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat,” tegas SJP.

BACA JUGA:Moeldoko: Tapera Bukan Potong Gaji Atau Iuran Tapi Tabungan

Sulitnya Bayar Cicilan

Fraksi PKS mendorong agar kelas menengah ini juga diperhatikan.

Di satu sisi, penghasilan mereka melebihi kriteria MBR, sehingga tidak dapat membeli hunian subsidi.

Namun, di sisi lain, penghasilan mereka juga masih pas-pasan untuk membeli hunian nonsubsidi.

“Maka sehingga akan semakin terbebani jika harus mencicil rumah sendiri tapi juga masih harus menyisihkan uang untuk Tapera,” ungkap Anggota DPR RI dari Dapil NTB 1 ini.

BACA JUGA:Cegah Korupsi, Komite Tapera Dibentuk, Diketuai Kementerian PUPR

Fraksi PKS, imbuh Suryadi, juga meminta agar kelas menengah tanggung seperti Generasi Milenial dan Gen Z saat ini lebih khusus lagi diperhatikan.

“Impian mereka untuk punya rumah sendiri akan menjadi semakin sulit terwujud karena penghasilannya tak pernah cukup untuk mencicil KPR. Dan tidak mungkin harus menunggu lama pensiun atau berusia 58 tahun baru dapat membeli rumah,” urainya.

BACA JUGA:Moeldoko Jelaskan Dasar Program Tapera: 9,9 Juta Masyarakat Belum Punya Rumah

Bagaimana Jika Sudah Punya Rumah?

Suryadi menambahkan terkait golongan kelas menengah yang sudah memiliki rumah, misalkan sudah telanjur membelinya atau dari warisan orang tua, tapi masih juga diwajibkan untuk ikut program ini.

“Dalam aturan PP No. 25/2020 (tidak direvisi) disebutkan bagi Peserta non-MBR, maka uang pengembalian Simpanan dan hasil pemupukannya dapat diambil setelah kepesertaan Tapera-nya berakhir, yaitu karena telah pensiun, telah mencapai usia 58 tahun bagi Pekerja Mandiri; meninggal dunia; atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai Peserta selama 5 tahun berturut-turut,” jelas Suryadi.

Fraksi PKS, lanjut SJP, mengusulkan golongan kelas menengah ini dapat dibantu untuk dapat membeli properti yang produktif seperti misalnya ruko dan sebagainya.

Sehingga dengan demikian akan semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas menengah.

BACA JUGA:Apindo dan KSBSI Minta Pemerintah untuk Kaji Ulang Iuran Wajib Tapera

“Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) tahun 2023, menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi Jokowi saat ini cenderung melupakan kelas menengah,” ujarnya.

Padahal, imbuh Suryadi, pemerintah harus fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif karena mereka adalah motor utama pembangunan jangka panjang.

Yang kedua, lanjut SJP, terkait Pekerja Mandiri yang pendapatannya tidak tetap, kadang cukup, kadang kurang, bahkan tidak ada penghasilan sama sekali.

“Tentunya iuran untuk Pekerja Mandiri ini perlu diatur oleh BP Tapera secara bijaksana dan perlu diklasifikasikan dengan baik agar tidak memberatkan para Pekerja Mandiri,” jelasnya.

Yang ketiga, tambah Suryadi, terkait penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Terdapat Kepmen PUPR No. 242/KPTS/M/2020 yang mengatur batasan maksimal penghasilan MBR pada kelompok sasaran KPR Sejahtera, KPR SSB (Subsidi Selisih Bunga) dan SSM (Subsidi Bantuan Uang Muka), yaitu maksimal Rp 8 juta per bulan.

BACA JUGA:Ketua Umum Apindo Tegaskan Tapera Bukan Jaminan Sosial, Shinta Kamdani: Ini Cerita Lama

“Hal ini perlu dikaji lebih dalam apakah batasan ini perlu ditingkatkan mengingat saat ini masih banyak rumah bersubsidi yang terbengkalai karena tidak diserap oleh masyarakat,” pungkasnya.

Yang keempat, Suryadi menambahkan, FPKS meminta adanya evaluasi terhadap pelaksanaan Tapera sejak tahun 2020 berdasarkan PP No. 25/2020, apakah Peserta Tapera yang MBR memang mengambil jatahnya untuk membeli rumah.

“Juga perlu dievaluasi apakah Peserta non-MBR yang sudah pensiun dan ingin mencairkan Tapera tidak mengalami prosedur yang rumit dan berbelit, terutama yang berdomisilinya di daerah,” terang Wakil Sekretaris Fraksi PKS ini.

Yang kelima, lanjutnya, atau yang terakhir, bahwa proses pemupukan atau pengembangan dana Tapera ini harus diawasi secara ketat.

“FPKS mendesak agar pemilihan manajer investasi pada BP Tapera yang diberi tugas untuk mengelola dan mengembangkan dana Tapera ini harus transparan dan akuntabel dan diawasi secara ketat. Hal ini diperlukan agar dana Tapera tidak mengalami penyalahgunaan seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri, dan tidak dimasukkan dalam proyek-proyek yang berisiko tinggi seperti proyek IKN atau jangan sampai dialokasikan ke program pemerintah lainnya,” tutup Suryadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads